TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH PENGANTAR PENDIDIKAN
KESALAHAN DAN KEKELIRUAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Dosen: Drs. H. Jakariansyah, M. Si
Disusun Oleh :
Nama : Veronika Liyanti
NIM : 521200074
Kelas : A Sore
Semester : I (Ganjil)
Prog. Studi : Pendidikan Bahasa Inggris

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia-Nya saya berhasil menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya yang berjudul “KESALAHAN DAN KEKELIRUAN DALAM DUNIA
PENDIDIKAN”.
Makalah ini berisikan tentang kekeliruan
dalam dunia pendidikan yang dilakukan baik orang tua dalam rumah tangga maupun
guru yang berada dilingkungan sekolah, serta kelemahan-kelemahan dan kekeliruan
pemerintah dalam kebijakan pendidikan maupun implementasinya.
Saya menyadari bahwa makalah ini belum
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
KEKELIRUAN
DALAM DUNIA PENDIDIKAN YANG DILAKUKAN GURU DI LINGKUNGAN SEKOLAH
Seiring dengan
maraknya seminar ataupun
pelatihan-pelatihan guru dalam
dunia pendidikan dalam
rangka meningkatkan kualitas guru, tak ubahnya menjadikan guru
mengerahkan upayanya dalam
menjalankan tugasnya sebagai
pendidik. Entah apa
sebabnya, apakah karena
memang pelatihan tersebut yang hanya formalitas sehingga kegiatan tersebut
tak bertujuan, ataukah lemahnya
minat para pesertanya
(dalam hal ini para guru) yang masih kurang mengenai urgen pelatihan guru.
Kalau boleh berkomentar, pelatihan guru yang digalakan dalam
dunia pendidikan belum membawa perubahan yang signifikan pada guru. Banyak guru
yang belum bisa menggali dan memahami kemampuan-kemampuanya sebagai pendidik,
sehingga kita temukan disfungsi pendidik, disfungsi pendidik ini saya artikan
sebagai mandeg-nya fungsi pendidik dalam dunia pendidikan, adapun disfungsi
pendidik dapat kita lihat dalam realitanya seperti : Ceramah is best metodh.
Kurangnya kemampuan guru dalam mengeksplorasi suatu metode
pembelajaran menjadikan kegiatan PBM tidak berjalan efektif dan efisien sesuai
dengan tujuan pembelajaran. Pembelajaran hanya melibatkan guru sebagai centra
dalam pembelajaran,dikatakan metode ceramahlah yang dijadikan andalan dan
dirasa cukup tepat bagi para guru dalam menjalankan PBM dalam kelasnya.
Sedangkan metode-metode yang lain seperti presentasi, diskusi, simulasi,
demonstrasi, dll, hanya dilakukan sekali tempo dalam kurun waktu tertentu.
Dampak dari anggapan ini ialah menjadikan PBM tersebut suatu
yang membosankan, jenuh, mengantuk, dan seringkali siswa mengobrol atau asik
bermain sendiri, sehingga tujuan dari pendidika pun tak dapat dicapai.
·
Membentuk output “tahu apa” bukan “ bisa apa”
Masih berkaitan dengan pemabahasan sebelumnya, dengan
pembelajaran yang menitikan aspek kognitif saja memberikan pengetahuan yang
lepas-lepas atau abstrak, ilmu yang diterima terkesan tak bermakna, sehingga output
yang dihasilkan tersebut hanyalah sekedar “tahu apa” bukan “bisa apa”. Padahal
disisi lain kita mengetahui bahwa tujuan pendidikan juga menyiapkan pribadi
yang cakap dan trampil yang siap terjun dalam masyarakat, seperti yang
dijelaskan dalam UUSPN Nomor 1989 pasal 4 tentang tujuan pendidikan.
·
Pendidik menjadi garda depan pemasaran berbagai industri
Mengingat pentingnya media dalam PBM, seperti Proyektor,
computer, LKS, buku paket dan media yang lain sering dijadikan bahan bisnis
bagi para guru, guru acapkali mengambil keuntungan dari harga penjualan LKS
yang diambilnya dari distributor berbagai penerbit untuk dijual oleh para siswa
lebih mahal dari harga biasanya. Dalam skala yang lebih besar seperti fasilitas
laboraturium computer,contohnya, yang ada di sekolah juga tak luput dari unsur
bisnis. Namun tak ada perhatiannya dari pihak orangtua selaku wali dari murid
dan kepala sekolah yang jabatannya juga sebagai supervisor maupun pihak
pemerintah pun tak memberikan perhatian akan hal ini. Padahal hal tersebut
sudah melanggar profesionalitas guru.
Alih-alih menggunakan asas desentralisasi, pihak sekolah Tak cukup dengan nasional yang seragam nasional. Seragam sekolah yang mulai marak dengan berbagi corak dan model yang berbeda, biasanya dijadikan ke-khas-an dari suatu sekolah dengan sekolah yang lain. Dalam kasus ini, peran utama sebagai garda paling awal dalam pemasaran.
·
Terpaku dengan kurikulum yang lama.
Kurikulum merupakan suatu alat dalam mencapai suatu
tujuan pendidikan, Unit yang
paling penting dalam
pelaksanaan suatu kurikulum
ialah guru yang berperan dalam
PBM. Sukses atau
tidaknya suatu kurikulum juga dipengaruhi oleh guru
yang mengimplemntasikannya. Dalam
kurikulum KTSP yang merupakan pengembangan dari
KBK sebenarnya memberikan
ruang untuk berkreasi bagi pihak
sekolah terutama para guru untuk memperkaya pemahaman para siswa
dalam PBM. Namun disayangkan, para
guru hanya menerima kurikulum yang telah dibuat tanpa
mengadakan suatu ekplorasi, bahkan saya temukan dibeberapa sekolah yang konon
menggunakan KTSP namun dalam PBMnya masih berbentuk konvesional.
·
Siswa yang bodoh.
Istilah-istilah bodoh, tolol, malas,geblek dan istilah- istilah
yang tidak sopan yang lain seringkali dilontarkan oleh guru untuk
memngungkapkan kekesalannya dengan merendahkan siswa di saat pembelajaran
berlangsung. Padahal guru sendirilah yang sebenarnya tak mengetahui bahwa
setiap manusia merupakan person yang memiliki pribadi yang unik dan berbeda
dalam gaya
belajarnya dan juga berubah.
Banyak
dampak yang ditimbulkan dari julukan-julukan
yang dilontarkan untuk
siswa, yaitu aspek
psikologis seperti munculnya
tekanan pada diri
dan mengahapus rasa kepercayaan
diri siswa (minder),
serta mengendorkan semangat
siswa.
·
Berbagai keluhan yang terjadi.
Mereka berdalih mengenai rendahnya kinerja guru sebagai
pendidik, disebabkan karena minimnya gaji guru dan sarana prasarana
disekolah.Seolah tutup telinga dengan istilah “guru pahlawan tanpa tanda jasa”
yang dikelu-kan. Kenaikan gaji yang disambut gembira para guru dalam
implemntasiannya tidak membuahkan hasil baik bagi kualitas pendidikan Negara
kita. Kenaikan gaji guru yang diusungkan pemerintah dalam rangka
mensejahterakan guru ialah agar mereka mampu meningkatkan profesionalitasnya
untuk merealisasikan sebuah tujuan penddidkan hanyalah sebatas wacana kenyataan
yang terjadi kenaikan gaji tak berdampak pada profesionalitas guru.
Kurangnya sarana prasarana yang terdapat di sekolah, juga
dijadikan tameng para oknum guru di sekolah yang notabennya berkualitas rendah,
melihat kenyataanya guru tidak mampu memanfaatkan sarana yang ada dengan baik
dan efektif. Mereka asal-asalan saja dalam penggunaannya, “dari pada tidak
dipakai”.
Sungguh ironis memang, Beralihnya fungsi pendidik telah
mengakibatkan pendidikan tak mampu mencapai tujuannya . Dari apa yang telah
diuraikan hanyalah segelintir dari berbagai disfungsi pendidik yang terjadi di
negara kita. Seyogyanya, dari kritikan ini kita dapat membenahi diri kita,
terutama sebagai calon pendidik agar mampu mengembalikan kembali pendidik
sebagaimana fungsinya, sehingga mata kepercayaan masyarakat kembali terbuka
bahwasannya pendidik suatu yang urgen demi tercapainya suatu pendidikan.
Hasil analisa dari kekeliruan dalam dunia pendidikan yang
dilakukan guru dilingkungan sekolah :
Hasil pelatihan yang
telah dilakukan oleh para guru tidak berjalan dengan efektif. Dalam hal ini,
banyak guru yang tidak serius dalam melakukan pelatihan, sehingga hasil
pelatihan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan.
Pada saat guru terjun kelapangan banyak sekali hal-hal yang
terjadi yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan, seperti :
·
Kurangnya kemampuan guru dalam mengeksplorasi suatu metode
pembelajaran.
·
Guru melakukan pembelajaran yang hanya menitik aspek kognitif,
sehingga ilmu yang diterima terkesan tak bermakna.
·
Pendidikan menjadi garda depan pemasaran berbagai industri.
·
Guru terpaku dengan kurikulum yang lama. Dalam hal ini guru hanya
menerima kurikulum yang telah dibuat tanpa mengadakan suatu eksplorasi, dan
ditemukan di beberapa sekolah yang menggunakan KTSP namun dalam PBMnya masih
berbentuk konvensional.
·
Istilah-istilah yang tidak sopan yang sering dilontarkan oleh
guru kepada muridnya untuk mengungkapkan kekesalannya.
·
Ada atau kurangnya
sarana, tidak digunakan dengan baik dan efektif.
KEKELIRUAN DALAM DUNIA
PENDIDIKAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA DALAM RUMAH TANGGA
Seusai pengajian ahad pagi
kemarin Allah SWT mempertemukan saya dengan sahabat lama yang berpuluh tahun
belum lagi bersua. Alhamdulillah saya mendapatkan kenang-kenangan sebuah buku.
Karena kebetulan saat itu memang beliau lagi jualan buku. Terima kasih Mas El
Mahie, syukran jazakallahu khoiron. Sebuah buku berjudul “Raport Merah Ayah
Bunda, 25 Kesalahan Orang tua dalam Mendidik Anak”, tulisan Abu Faiz
Abdurrahman dan diterbitkan oleh Pustaka Ausath.
Buku setebal 115 halaman
ini memang sebuah panduan praktis bagi para orang tua dalam hal mendidik
anak-anak mereka seiring problema yang dihadapi para orang tua dengan
anak-anaknya. Buku ini berusaha membedah kesalahan-kesalahan mendasar yang
sering dilakukan para orang tua dalam mendidik anak-anak. Di sisi lain banyak
orang tua yang tidak sadar melakukan hal-hal yang berdampak buruk bagi
anak-anak mereka di masa depan.
Penulis lewat buku ini
bermaksud mengajak para orang tua agar mau belajar memperbaiki diri, agar kelak
anak-anak bisa berbangga dengan orang tuanya dan bisa mengatakan, “terima kasih
ayah-bunda, aku mencintai kalian.” Buku ini sebenarnya membeberkan 25 kesalahan
yang sering dilakukan para orang tua dalam mendidik anak. Namun karena
pertimbangan kepraktisan dan space halaman,
saya hanya akan menyebutkan lima
diantaranya:
1. Lalai Membekali Keimanan
2. Memberi Label Negatif
Seringkali para orang tua
mengeluarkan kata-kata atau kalimat yang sejatinya tidak semestinya itu
dikeluarkan seperti : “dasar anak bodoh, lemot, anak nakal , dll”, namun karena
kekesalan terhadap perilaku anak-anaknya tak ayal begitu ringan dan deras
kalimat itu meluncur menghunjam ke dalam otak anak-anak. Inilah labeling yang
sering diterapkan para orang tua terhadap anak-anaknya. Tentu saja ini labeling
negatif, dan harus segera dihentikan. Alangkah indahnya kalau para orang tua
mau mengganti labeling negatif itu dengan labeling positif. Jika labeling yang
terucap bernuansa positif, seperti “anak pandai”, “anak rajin”, “anak cantik”,
dan seterusnya bukankah terdengar lebih indah dan menyisakan efek positif?
3. Belajar Pada Televisi
Tak jarang para orang tua
membiarkan anak-anaknya bereksplorasi sendiri dari tayangan-tayangan televisi
yang mereka saksikan meskipun sebenarnya tayangan tersebut konsumsi orang
dewasa. Apa lacur, yang terjadi anak-anak meniru apa saja yang dilihatnya di
televisi, berupa kata-kata atau aksi nyata yang sejatinya belum waktunya bagi
mereka untuk melakukan semua itu. Mengapa TV begitu merusak bagi anak-anak?
Permasalahannya adalah ketidakmampuan seorang anak kecil membedakan dunia yang
ia lihat di TV dengan apa yang sebenarnya. Efek lain dari TV adalah anak
menjadi pasif dan tidak kreatif
4. Menakut-nakuti Anak
Tanpa sadar para orang tua
dan anggota keluarga yang lain seringkali menakut-nakuti anak-anak dengan
kalimat yang sebenarnya dimaksudkan untuk meredakan tangis seperti, “ Eh jangan
nangis, nanti ada pak polisi ditembak lho…”. Padahal yang seperti itu tidak
mendidik sama sekali. Karena pernyataan mengancam atau menakuti akan dipahami
anak sebagai kebohongan orang tua seiring perjalanan tumbuh kembang anak. Maka
lebih baik berkata jujur dan memberi pengertian semampunya kepada anak.
5. Terlalu Memanjakan
Perlakuan terlalu
memanjakan anak, jika dibiarkan berlarut-larut akan membuat mereka tidak
mandiri. Itu karena semua kebutuhan mereka selalu terpenuhi hanya dengan
meminta atau merengek kepada orang tua. Sebaiknya, para orang tua harus
menyaring keinginan-keinginan anak-anak, dan hanya mengambil atau menuruti apa
yang bermanfaat bagi anak-anak Anda.
Hasil analisa dari
kekeliruan dalam dunia pendidikan yang dilakukan orang tua dalam rumah tangga :
Orang tua membuat suatu
kesalahan secar sadar maupun tidak sadar. Hal ini terdapat pada
pernyataan-pernyataan di atas. Keslahan yang sering dilakukan para orang tua
dalam mendidik anak, diantaranya :
1. Lalai membekali
keimanan, orang tua tidak mendidik anaknya sejak dini tentang keagamaan.
Anak-anak akan menjadi bingung atau kesulitan ketika dewasa, karena identitas
agamanya tidak diketahui secara pasti, ilmu-ilmu agama tidak banyak didapatkan.
2. Memberi label
negatif, orang tua mengatakan atau mengucapkan kata-kata yang tidak semestinya
diucapkan. Sejak dini anak-anak cenderung untuk meniru apa yang diucapkan oleh
orang-orang yang berada di sekitarnya. Apabila orang tua mengucapkan kata-kata
yang tidak semestinya, maka secara tidak sadar anak-anak merekam apa yang
orang-orang atau orang tuanya ucapkan.
3. Belajar pada
televisi, orang tua membiarkan anaknya menonton tayangan televisi yang
terkadang bersifat keras. Dalam hal ini anak yang masih memiliki pikiran polos
tidak dapat membedakan antara fiksi dan non-fiksi.
4. Menakut-nakuti
anak, pernyataan mengancam atau menakut-nakuti anak akan dipahami anak sebagai
kebohongan orang tua. Maka lebih baik ajarkan kejujuran daripada kebohongan.
Jika tidak, anak akan menjadi prribadi yang suka berbohong.
5. Terlalu
memanjakan, perlakuan memanjakan anak dapat membuat anak menjadi tidak mandiri,
memiliki pemikiran bahwa apa yang diminta maka akan diberi, jika tidak
memberikan apa yang anak tersebut minta maka dengan cara apapun (usaha negatif)
akan diusahakannya. Sebaiknya, para orang tua memberikan apa yang bermanfaat
bagi anak-anak mereka.
KELEMAHAN-KELEMAHAN DAN KEKELIRUAN PEMERINTAH DALAM KEBIJAKAN
PENDIDIKAN MAUPUN IMPLEMENTASINYA
A. Pemerintah dan Solusi
Permasalahan Pendidikan
Mengenai masalah
pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini
tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa
masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, tidak
meratanya pendidikan di seluruh Indonesia, sarana dan prasarana yang sangat
sangat minim, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan serta
sistem yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini
dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di
tingkat nasional, propinsi, maupun kota
dan kabupaten.
Jikalaupun alokasi anggaran
pendidikan turun dari pemerintah pusat, hampir dapat dipastikan tidak akan
dapat dirasakan oleh peserta didik secara utuh, mengapa? Jawabannya tidak lain
dan tidak bukan pastilah karena ‘KORUPSI’.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja, atau masalah korupsinya. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan diIndonesia
masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya
masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa
banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang
memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun
mengakibatkan anak-anak Indonesia
masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar
sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan
yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan
yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja, atau masalah korupsinya. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di
Kondisi ideal dalam bidang
pendidikan di Indonesia
adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan
status atau golongan karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit
untuk direalisasikan pada saat ini, mengapa? Karna ‘KKN’ di Indonesia sangat
berkembang, pembedaan antara si kaya dan si miskin sangat mencolok. Oleh karena
itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam
dunia pendidikan tanpa membeda-bedakan satu dan yang lainnya.
Jika mencermati permasalahan
di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah-olah
sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa
minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari
sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim, siswa yang ingin mendapatkan
beasiswa dituntut untuk mencari informasi sendiri tanpa bimbingan, sehingga
timbul rasa frustrasi dalam diri anak miskin yang ingin mendapatkan beasiswa.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.” Dan sekolah gratis pun identik dengan anak anak yang kurang mampu. Sangat memprihatinkan.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.” Dan sekolah gratis pun identik dengan anak anak yang kurang mampu. Sangat memprihatinkan.
B. Penyelenggaraan Pendidikan
yang Berkualitas
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul
untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak
(TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki
pilihan lain kecuali tidak bersekolah. ‘Orang miskin tidak boleh sekolah’
itulah ilustrasi yang terjadi di dunia pendidikan di Indonesia.Untuk masuk TK
dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000.
Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1
juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah” padahal kenyataan nya? Patut dipertanyakan.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah” padahal kenyataan nya? Patut dipertanyakan.
Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya
menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyat.
Kondisi ini akan lebih buruk
dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara
mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun
berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah
beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak
pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
C. Privatisasi dan
Swastanisasi Sektor Pendidikan
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri
Dalam APBN 2005 hanya
5,82% yang dialokasikan
untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras
25% belanja
dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi
melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP
tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan,
sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional
pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar
(Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti
Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya
sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk
meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu
untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin
terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada
dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi
pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama
oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan
(BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh
sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu,
beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus
mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia . Di Jerman, Perancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Tanggapan saya
mengenai kelemahan dan kekeliruan pemerintah dalam kebijakan pendidikan maupun
implementasinya :
Pengalokasian
dana untuk pendidikan harus ditingkatkan, demi menunjang pendidikan itu sendiri.
Pemerintah juga harus mengontrol dana yang dikeluarkan. Jangan sampai dana yang
digunakan untuk pendidikan tersebut berada ditangan para koruptor.
Membedakan
kualitas dan kuantitas pendidikan, guru, murid maupun sarana prasarananya. Hal
ini akan berakibat ketidakmerataanya pendidikan didaerah-daerah tertentu
(pedesaan atau pelosokan).
Mahalnya biaya pendidikan dan
penghasilan ekonomi yang tidak cukup memadai menyebabkan ketidakmampuan untuk
mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya. Memang pemerintah telah menerapkan
sekolah gratis, namun dalam hal ini masih belum dapat dikatakan sebagai sekolah
gratis yang sebenarnya. Sekolah gratis ini masih membebankan peserta didik,
kenapa demikian ? Peserta didik diharuskan membayar administrasi-administrasi
yang ditentukan. Sehingga orang tua murid maupun masyarakat akan bertanya-
tanya “Benarkah sekolah tersebut benar-benar gratis ?”. pemikiran seperti ini
akan berdampak terhadap kepercayaan masyarakat maupun orang tua semakin
merosot.
Aturan-aturan dan pedoman-pedoman
yang sudah dirumuskan perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan
ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.
DAFTAR
PUSTAKA
- www.
Pendidikandiindonesia.com
- (www.kau.or.id)(Kompas, 10/5/2005)
- www.google.dunia pendidikan.com
- (www.mencermatiedukasi.com)(Maghfiroh,8/6/2012).
- (www.google.com)(Area Dewasa,
7/2/2012)
Yang dimaksud dengan kekeliruan pendidikan tu apa ya?
BalasHapusYang dimaksud dengan kekeliruan pendidikan tu apa ya?
BalasHapus