Selasa, 18 Maret 2014

KESALAHAN DAN KEKELIRUAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN

TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH PENGANTAR PENDIDIKAN
KESALAHAN DAN KEKELIRUAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Dosen: Drs. H. Jakariansyah, M. Si

Disusun Oleh :
Nama              :           Veronika Liyanti
NIM                :           521200074
Kelas               :           A Sore
Semester         :           I (Ganjil)
Prog. Studi     :           Pendidikan Bahasa Inggris




SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
PONTIANAK
2013
KATA PENGANTAR


Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia-Nya saya berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “KESALAHAN DAN KEKELIRUAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN”.

Makalah ini berisikan tentang kekeliruan dalam dunia pendidikan yang dilakukan baik orang tua dalam rumah tangga maupun guru yang berada dilingkungan sekolah, serta kelemahan-kelemahan dan kekeliruan pemerintah dalam kebijakan pendidikan maupun implementasinya.

Saya menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

























KEKELIRUAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN YANG DILAKUKAN GURU DI LINGKUNGAN SEKOLAH



Seiring   dengan   maraknya   seminar   ataupun   pelatihan-pelatihan  guru dalam dunia    pendidikan   dalam   rangka   meningkatkan  kualitas guru,    tak ubahnya menjadikan    guru    mengerahkan    upayanya    dalam    menjalankan   tugasnya  sebagai   pendidik.    Entah  apa  sebabnya,    apakah   karena    memang pelatihan tersebut yang hanya formalitas sehingga kegiatan tersebut tak bertujuan, ataukah lemahnya   minat   para  pesertanya  (dalam hal ini para guru) yang masih kurang mengenai urgen pelatihan guru.

Kalau boleh berkomentar, pelatihan guru yang digalakan dalam dunia pendidikan belum membawa perubahan yang signifikan pada guru. Banyak guru yang belum bisa menggali dan memahami kemampuan-kemampuanya sebagai pendidik, sehingga kita temukan disfungsi pendidik, disfungsi pendidik ini saya artikan sebagai mandeg-nya fungsi pendidik dalam dunia pendidikan, adapun disfungsi pendidik dapat kita lihat dalam realitanya seperti : Ceramah is best metodh.

Kurangnya kemampuan guru dalam mengeksplorasi suatu metode pembelajaran menjadikan kegiatan PBM tidak berjalan efektif dan efisien sesuai dengan tujuan pembelajaran. Pembelajaran hanya melibatkan guru sebagai centra dalam pembelajaran,dikatakan metode ceramahlah yang dijadikan andalan dan dirasa cukup tepat bagi para guru dalam menjalankan PBM dalam kelasnya. Sedangkan metode-metode yang lain seperti presentasi, diskusi, simulasi, demonstrasi, dll, hanya dilakukan sekali tempo dalam kurun waktu tertentu.

Dampak dari anggapan ini ialah menjadikan PBM tersebut suatu yang membosankan, jenuh, mengantuk, dan seringkali siswa mengobrol atau asik bermain sendiri, sehingga tujuan dari pendidika pun tak dapat dicapai.



·         Membentuk output “tahu apa” bukan “ bisa apa”

Masih berkaitan dengan pemabahasan sebelumnya, dengan pembelajaran yang menitikan aspek kognitif saja memberikan pengetahuan yang lepas-lepas atau abstrak, ilmu yang diterima terkesan tak bermakna, sehingga output yang dihasilkan tersebut hanyalah sekedar “tahu apa” bukan “bisa apa”. Padahal disisi lain kita mengetahui bahwa tujuan pendidikan juga menyiapkan pribadi yang cakap dan trampil yang siap terjun dalam masyarakat, seperti yang dijelaskan dalam UUSPN Nomor 1989 pasal 4 tentang tujuan pendidikan.

·         Pendidik menjadi garda depan pemasaran berbagai industri

Mengingat pentingnya media dalam PBM, seperti Proyektor, computer, LKS, buku paket dan media yang lain sering dijadikan bahan bisnis bagi para guru, guru acapkali mengambil keuntungan dari harga penjualan LKS yang diambilnya dari distributor berbagai penerbit untuk dijual oleh para siswa lebih mahal dari harga biasanya. Dalam skala yang lebih besar seperti fasilitas laboraturium computer,contohnya, yang ada di sekolah juga tak luput dari unsur bisnis. Namun tak ada perhatiannya dari pihak orangtua selaku wali dari murid dan kepala sekolah yang jabatannya juga sebagai supervisor maupun pihak pemerintah pun tak memberikan perhatian akan hal ini. Padahal hal tersebut sudah melanggar profesionalitas guru.

Alih-alih   menggunakan   asas   desentralisasi,   pihak  sekolah Tak cukup dengan nasional   yang  seragam nasional.   Seragam  sekolah  yang  mulai  marak dengan berbagi corak dan model yang berbeda, biasanya dijadikan ke-khas-an dari suatu sekolah dengan sekolah yang lain. Dalam kasus ini,  peran  utama  sebagai  garda paling awal dalam pemasaran.

·         Terpaku dengan kurikulum yang lama.

Kurikulum  merupakan suatu alat dalam mencapai suatu tujuan pendidikan, Unit yang   paling  penting  dalam   pelaksanaan  suatu    kurikulum   ialah   guru   yang berperan  dalam  PBM.   Sukses  atau  tidaknya suatu kurikulum juga dipengaruhi oleh   guru    yang   mengimplemntasikannya.    Dalam   kurikulum   KTSP     yang merupakan   pengembangan   dari   KBK   sebenarnya  memberikan  ruang  untuk berkreasi bagi pihak sekolah terutama para guru untuk memperkaya pemahaman para  siswa  dalam   PBM.    Namun disayangkan,    para  guru   hanya   menerima kurikulum yang telah dibuat tanpa mengadakan suatu ekplorasi, bahkan saya temukan dibeberapa sekolah yang konon menggunakan KTSP namun dalam PBMnya masih berbentuk konvesional.

·         Siswa yang bodoh.

Istilah-istilah bodoh, tolol, malas,geblek dan istilah- istilah yang tidak sopan yang lain seringkali dilontarkan oleh guru untuk memngungkapkan kekesalannya dengan merendahkan siswa di saat pembelajaran berlangsung. Padahal guru sendirilah yang sebenarnya tak mengetahui bahwa setiap manusia merupakan person yang memiliki pribadi yang unik dan berbeda dalam gaya belajarnya dan juga berubah.

Banyak dampak yang ditimbulkan dari julukan-julukan  yang   dilontarkan untuk siswa,   yaitu   aspek   psikologis    seperti   munculnya    tekanan   pada    diri   dan mengahapus   rasa   kepercayaan   diri   siswa  (minder),     serta     mengendorkan semangat siswa.

·         Berbagai keluhan yang terjadi.

Mereka berdalih mengenai rendahnya kinerja guru sebagai pendidik, disebabkan karena minimnya gaji guru dan sarana prasarana disekolah.Seolah tutup telinga dengan istilah “guru pahlawan tanpa tanda jasa” yang dikelu-kan. Kenaikan gaji yang disambut gembira para guru dalam implemntasiannya tidak membuahkan hasil baik bagi kualitas pendidikan Negara kita. Kenaikan gaji guru yang diusungkan pemerintah dalam rangka mensejahterakan guru ialah agar mereka mampu meningkatkan profesionalitasnya untuk merealisasikan sebuah tujuan penddidkan hanyalah sebatas wacana kenyataan yang terjadi kenaikan gaji tak berdampak pada profesionalitas guru.



Kurangnya sarana prasarana yang terdapat di sekolah, juga dijadikan tameng para oknum guru di sekolah yang notabennya berkualitas rendah, melihat kenyataanya guru tidak mampu memanfaatkan sarana yang ada dengan baik dan efektif. Mereka asal-asalan saja dalam penggunaannya, “dari pada tidak dipakai”.

Sungguh ironis memang, Beralihnya fungsi pendidik telah mengakibatkan pendidikan tak mampu mencapai tujuannya . Dari apa yang telah diuraikan hanyalah segelintir dari berbagai disfungsi pendidik yang terjadi di negara kita. Seyogyanya, dari kritikan ini kita dapat membenahi diri kita, terutama sebagai calon pendidik agar mampu mengembalikan kembali pendidik sebagaimana fungsinya, sehingga mata kepercayaan masyarakat kembali terbuka bahwasannya pendidik suatu yang urgen demi tercapainya suatu pendidikan.


Hasil analisa dari kekeliruan dalam dunia pendidikan yang dilakukan guru dilingkungan sekolah :

 Hasil pelatihan yang telah dilakukan oleh para guru tidak berjalan dengan efektif. Dalam hal ini, banyak guru yang tidak serius dalam melakukan pelatihan, sehingga hasil pelatihan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan.
Pada saat guru terjun kelapangan banyak sekali hal-hal yang terjadi yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan, seperti :
·         Kurangnya kemampuan guru dalam mengeksplorasi suatu metode pembelajaran.
·         Guru melakukan pembelajaran yang hanya menitik aspek kognitif, sehingga ilmu yang diterima terkesan tak bermakna.
·         Pendidikan menjadi garda depan pemasaran berbagai industri.
·         Guru terpaku dengan kurikulum yang lama. Dalam hal ini guru hanya menerima kurikulum yang telah dibuat tanpa mengadakan suatu eksplorasi, dan ditemukan di beberapa sekolah yang menggunakan KTSP namun dalam PBMnya masih berbentuk konvensional.
·         Istilah-istilah yang tidak sopan yang sering dilontarkan oleh guru kepada muridnya untuk mengungkapkan kekesalannya.
·         Ada atau kurangnya sarana, tidak digunakan dengan baik dan efektif.

KEKELIRUAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA DALAM RUMAH TANGGA

Seusai pengajian ahad pagi kemarin Allah SWT mempertemukan saya dengan sahabat lama yang berpuluh tahun belum lagi bersua. Alhamdulillah saya mendapatkan kenang-kenangan sebuah buku. Karena kebetulan saat itu memang beliau lagi jualan buku. Terima kasih Mas El Mahie, syukran jazakallahu khoiron. Sebuah buku berjudul “Raport Merah Ayah Bunda, 25 Kesalahan Orang tua dalam Mendidik Anak”, tulisan Abu Faiz Abdurrahman dan diterbitkan oleh Pustaka Ausath.
Buku setebal 115 halaman ini memang sebuah panduan praktis bagi para orang tua dalam hal mendidik anak-anak mereka seiring problema yang dihadapi para orang tua dengan anak-anaknya. Buku ini berusaha membedah kesalahan-kesalahan mendasar yang sering dilakukan para orang tua dalam mendidik anak-anak. Di sisi lain banyak orang tua yang tidak sadar melakukan hal-hal yang berdampak buruk bagi anak-anak mereka di masa depan.
Penulis lewat buku ini bermaksud mengajak para orang tua agar mau belajar memperbaiki diri, agar kelak anak-anak bisa berbangga dengan orang tuanya dan bisa mengatakan, “terima kasih ayah-bunda, aku mencintai kalian.” Buku ini sebenarnya membeberkan 25 kesalahan yang sering dilakukan para orang tua dalam mendidik anak. Namun karena pertimbangan kepraktisan dan space halaman, saya hanya akan menyebutkan lima diantaranya:
1. Lalai Membekali Keimanan
Para orang tua terlena dengan dunia dan lupa memperhatikan pendidikan agama anak-anaknya. Anak-anak tidak diperkenalkan sejak dini terhadap Rabb-Nya, sifat-sifat Allah SWT, kekuasaan-Nya, para nabi dan rasul-Nya atau dalam hal ini adalah tauhid. Hal ini semestinya sangat mudah, sekiranya para orang tua mengerti dan mau melakukannya.


2. Memberi Label Negatif
Seringkali para orang tua mengeluarkan kata-kata atau kalimat yang sejatinya tidak semestinya itu dikeluarkan seperti : “dasar anak bodoh, lemot, anak nakal , dll”, namun karena kekesalan terhadap perilaku anak-anaknya tak ayal begitu ringan dan deras kalimat itu meluncur menghunjam ke dalam otak anak-anak. Inilah labeling yang sering diterapkan para orang tua terhadap anak-anaknya. Tentu saja ini labeling negatif, dan harus segera dihentikan. Alangkah indahnya kalau para orang tua mau mengganti labeling negatif itu dengan labeling positif. Jika labeling yang terucap bernuansa positif, seperti “anak pandai”, “anak rajin”, “anak cantik”, dan seterusnya bukankah terdengar lebih indah dan menyisakan efek positif?
3. Belajar Pada Televisi
Tak jarang para orang tua membiarkan anak-anaknya bereksplorasi sendiri dari tayangan-tayangan televisi yang mereka saksikan meskipun sebenarnya tayangan tersebut konsumsi orang dewasa. Apa lacur, yang terjadi anak-anak meniru apa saja yang dilihatnya di televisi, berupa kata-kata atau aksi nyata yang sejatinya belum waktunya bagi mereka untuk melakukan semua itu. Mengapa TV begitu merusak bagi anak-anak? Permasalahannya adalah ketidakmampuan seorang anak kecil membedakan dunia yang ia lihat di TV dengan apa yang sebenarnya. Efek lain dari TV adalah anak menjadi pasif dan tidak kreatif
4. Menakut-nakuti Anak
Tanpa sadar para orang tua dan anggota keluarga yang lain seringkali menakut-nakuti anak-anak dengan kalimat yang sebenarnya dimaksudkan untuk meredakan tangis seperti, “ Eh jangan nangis, nanti ada pak polisi ditembak lho…”. Padahal yang seperti itu tidak mendidik sama sekali. Karena pernyataan mengancam atau menakuti akan dipahami anak sebagai kebohongan orang tua seiring perjalanan tumbuh kembang anak. Maka lebih baik berkata jujur dan memberi pengertian semampunya kepada anak.


5. Terlalu Memanjakan
Perlakuan terlalu memanjakan anak, jika dibiarkan berlarut-larut akan membuat mereka tidak mandiri. Itu karena semua kebutuhan mereka selalu terpenuhi hanya dengan meminta atau merengek kepada orang tua. Sebaiknya, para orang tua harus menyaring keinginan-keinginan anak-anak, dan hanya mengambil atau menuruti apa yang bermanfaat bagi anak-anak Anda.

Hasil analisa dari kekeliruan dalam dunia pendidikan yang dilakukan orang tua dalam rumah tangga :
Orang tua membuat suatu kesalahan secar sadar maupun tidak sadar. Hal ini terdapat pada pernyataan-pernyataan di atas. Keslahan yang sering dilakukan para orang tua dalam mendidik anak, diantaranya :
1.       Lalai membekali keimanan, orang tua tidak mendidik anaknya sejak dini tentang keagamaan. Anak-anak akan menjadi bingung atau kesulitan ketika dewasa, karena identitas agamanya tidak diketahui secara pasti, ilmu-ilmu agama tidak banyak didapatkan.
2.      Memberi label negatif, orang tua mengatakan atau mengucapkan kata-kata yang tidak semestinya diucapkan. Sejak dini anak-anak cenderung untuk meniru apa yang diucapkan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Apabila orang tua mengucapkan kata-kata yang tidak semestinya, maka secara tidak sadar anak-anak merekam apa yang orang-orang atau orang tuanya ucapkan.
3.      Belajar pada televisi, orang tua membiarkan anaknya menonton tayangan televisi yang terkadang bersifat keras. Dalam hal ini anak yang masih memiliki pikiran polos tidak dapat membedakan antara fiksi dan non-fiksi.
4.      Menakut-nakuti anak, pernyataan mengancam atau menakut-nakuti anak akan dipahami anak sebagai kebohongan orang tua. Maka lebih baik ajarkan kejujuran daripada kebohongan. Jika tidak, anak akan menjadi prribadi yang suka berbohong.

5.      Terlalu memanjakan, perlakuan memanjakan anak dapat membuat anak menjadi tidak mandiri, memiliki pemikiran bahwa apa yang diminta maka akan diberi, jika tidak memberikan apa yang anak tersebut minta maka dengan cara apapun (usaha negatif) akan diusahakannya. Sebaiknya, para orang tua memberikan apa yang bermanfaat bagi anak-anak mereka.

















KELEMAHAN-KELEMAHAN DAN KEKELIRUAN PEMERINTAH DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN MAUPUN IMPLEMENTASINYA

A.   Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, tidak meratanya pendidikan di seluruh Indonesia, sarana dan prasarana yang sangat sangat minim, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan serta sistem yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
                                           
Jikalaupun alokasi anggaran pendidikan turun dari pemerintah pusat, hampir dapat dipastikan tidak akan dapat dirasakan oleh peserta didik secara utuh, mengapa? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan pastilah karena ‘KORUPSI’.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja, atau masalah korupsinya. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status atau golongan karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini, mengapa? Karna ‘KKN’ di Indonesia sangat berkembang, pembedaan antara si kaya dan si miskin sangat mencolok. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan tanpa membeda-bedakan satu dan yang lainnya.

Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah-olah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim, siswa yang ingin mendapatkan beasiswa dituntut untuk mencari informasi sendiri tanpa bimbingan, sehingga timbul rasa frustrasi dalam diri anak miskin yang ingin mendapatkan beasiswa.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.” Dan sekolah gratis pun identik dengan anak anak yang kurang mampu. Sangat memprihatinkan.



B.    Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. ‘Orang miskin tidak boleh sekolah’ itulah ilustrasi yang terjadi di dunia pendidikan di Indonesia.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah” padahal kenyataan nya? Patut dipertanyakan.

Namun, pada tingkat implementasinya,  ia tidak transparan,  karena  yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,  Komite Sekolah hanya menjadi  legitimator  kebijakan  Kepala Sekolah,  dan MBS  pun  hanya  menjadi  legitimasi  dari  pelepasan  tanggung jawab  negara   terhadap permasalahan pendidikan rakyat.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

C.   Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam  APBN  2005  hanya  5,82%  yang  dialokasikan  untuk  pendidikan.   Bandingkan dengan   dana  untuk   membayar  hutang  yang   menguras   25%   belanja  dalam  APBN (www.kau.or.id).   Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan  dilegitimasi   melalui sejumlah peraturan,   seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,    RUU Badan Hukum Pendidikan,   Rancangan Peraturan Pemerintah  (RPP)  tentang Pendidikan Dasar dan Menengah,  dan  RPP tentang Wajib Belajar.   Penguatan pada privatisasi pendidikan itu,  misalnya,  terlihat dalam Pasal  53  (1)  UU  No  20/2003  tentang Sistem Pendidikan Nasional  (Sisdiknas).   Dalam   pasal  itu  disebutkan,   penyelenggara   dan/atau    satuan pendidikan formal yang didirikan oleh  Pemerintah   atau   masyarakat   berbentuk  badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.


Tanggapan saya mengenai kelemahan dan kekeliruan pemerintah dalam kebijakan pendidikan maupun implementasinya :

Pengalokasian dana untuk pendidikan harus ditingkatkan, demi menunjang pendidikan itu sendiri. Pemerintah juga harus mengontrol dana yang dikeluarkan. Jangan sampai dana yang digunakan untuk pendidikan tersebut berada ditangan para koruptor.
Membedakan kualitas dan kuantitas pendidikan, guru, murid maupun sarana prasarananya. Hal ini akan berakibat ketidakmerataanya pendidikan didaerah-daerah tertentu (pedesaan atau pelosokan).

Mahalnya biaya pendidikan dan penghasilan ekonomi yang tidak cukup memadai menyebabkan ketidakmampuan untuk mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya. Memang pemerintah telah menerapkan sekolah gratis, namun dalam hal ini masih belum dapat dikatakan sebagai sekolah gratis yang sebenarnya. Sekolah gratis ini masih membebankan peserta didik, kenapa demikian ? Peserta didik diharuskan membayar administrasi-administrasi yang ditentukan. Sehingga orang tua murid maupun masyarakat akan bertanya- tanya “Benarkah sekolah tersebut benar-benar gratis ?”. pemikiran seperti ini akan berdampak terhadap kepercayaan masyarakat maupun orang tua semakin merosot.

Aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.















DAFTAR PUSTAKA



2 komentar:

  1. Yang dimaksud dengan kekeliruan pendidikan tu apa ya?

    BalasHapus
  2. Yang dimaksud dengan kekeliruan pendidikan tu apa ya?

    BalasHapus