BAHASA INDONESIA DALAM
MASYARAKAT
Dosen:
Mai Yuliastri Simarmata, M. Pd
Disusun
Oleh :
Nama : Veronika Liyanti
NIM : 521200074
Kelas : A
Sore
Semester : 2 ( Genap )
Prog. Studi : Pendidikan
Bahasa Inggris

SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN
GURU REPUBLIK INDONESIA
PONTIANAK
2013
BAHASA
INDONESIA DALAM MASYARAKAT
VERONIKA
LIYANTI
521200074
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS, SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
JL.
ILHAM NO. 45 KOTA BARU 78116 PONTIANAK
Abstrak. Bahasa merupakan alat penyambung
komunikasi dalam suatu daerah atau wilayah. Hal ini karena begitu banyaknya
suku di daerah tersebut, sehingga masyarakat kesulitan berinteraksi. Adanya
bahasa dapat mempermudah individu-individu berinteraksi dalam kegiatan sosial.
Dalam memecahkan permasalahan ini digunakanlah metode deskriptif kualitatif.
Dengan demikian masyarakat dapat bersatu melalui bahasa daerah mereka.
Kata kunci. Deskriptif, kualitatif, dwibahasawan,
anekabahasawan, dan dialek.
Bangsa Indonesia memiliki
keberagaman yang merupakan anugerah yang dilimpahi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Negara kita merupakan salah satu negara kepulauan yang besar. Dapat dilihat dari sabang sampai merauke.
Suku di Indonesia juga beragam, adat dan budaya menjadi bagian dari Negara
Indonesia. Setiap suku di Indonesia memiliki keragaman budaya yang beragam dan
memiliki adat istiadat yang berbeda termasuk cara bertutur (berbahasa). Hal
inilah yang membuat Indonesia menjadi negara yang variatif.
Setiap bahasa yang
digunakan dalam suatu suku berbeda-beda. Penggunaan bahasa dalam satu rumpun
kebudayaan yang sama hanya terjadi dalam komunikasi antar masyarakat dalam
lingkup daerah tertentu. Seperti masyarakat Pontianak, menggunakan bahasa
Melayu untuk berkomunikasai sesama orang Pontianak dan masyarakat Batak
menggunakan bahasa Batak untuk berkomunikasi sesama orang Batak. Hal itu
menjadi kendala sehingga dibutuhkan bahasa nasional yang bertujuan sebagai
jembatan komunikasi dan sebagai sarana pemersatuan bahasa pada masyarakat.
Dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan, hambatan komunikasi yang disebabkan berbeda latar belakang sosial,
budaya, dan bahasa daerah dapat teratasi dengan bahasa pemersatu yaitu bahasa
Indonesia. Pada kitab UUD 1945 menerangkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan sangatlah kuat. Pasal 36 berbunyi, “Bahasa negara adalah
bahasa Indonesia”. Penjabaran pasal ini secara lebih luas dapat diartikan bahwa
penggunaan bahasa Indonesia menjadi kewajiban untuk setiap kepentingan
kenegaraan dan urusan tata pemerintahan. Bahasa Indonesia menjadi kewajiban
yang harus diketahui oleh masyarakat Indonesia, sehingga dalam dunia pendidikan
bahasa Indonesia wajib dipelajari.
Bagaimanakah bangsa Indonesia akan bersatu apabila bahasa
pemersatu Bahasa Indonesia tidak terjalin dengan baik hanya karena suku bangsa Indonesia
memiliki bahasa yang berbeda-beda? Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
digunakan dalam beberapa keperluan dan dalam situasi atau kondisi yang
berbeda-beda. Keanekaragaman itulah yang dinamakan ragam bahasa indonesia.
Berdasarkan uraian di atas maka artikel yang akan saya bahas adalah “Bahasa
Indonesia dalam Masyarakat”.
Dalam masalah ini metode yang saya
gunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif atau
metode penelitian kualitaf merupakan metode untuk menyelidiki obyek yang tidak
dapat diukur dengan angka-angka ataupun ukuran lain yang bersifat eksak. Metode
ini juga dapat diartikan riset yang bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Jadi metode ini dapat
diberlakukan terhadap masalah-masalah yang akan dibahas dalam artikel ini
selanjutnya.
Berikut adalah pembahasan bahasa
Indonesia dalam masyarakat:
A.
Pengertian Bahasa
Menurut Keraf dalam
Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama
menyatakan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa
adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran)
yang bersifat arbitrer.
Pengertian bahasa sebagai
alat komunikasi adalah bagian dari dimensi sosial yang khusus membahas pola
interaksi antar manusia dengan menggunakan ide atau gagasan lewat lambang atau
bunyi ujaran. Bahasa juga sebagai lambang dari suatu negara. Masyarakat yang
menggunakan bahasa tersebut dapat kita ketahui ketika mereka berbicara
menggunakan bahasa mereka masing-masing.
Hakikat sistem
komunikasi menurut analogi dari person adalah suatu pola hubungan yang saling
melengkapi antara sistem dalam sistem komunikasi. Sebagai alat komunikasi
bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita, dan
memungkinkan kita dapat bekerja sama antar sesama anggota masyarakat.
Kemudian pengertian
bahasa menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu
language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and
rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai
kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan
konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi
simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pengertian bahasa
menurut Owem dapat diartikan bahwa bahasa merupakan simbol yang ditentukan oleh
pemerintah sebagai pemersatu suatu daerah atau wilayah yang kesulitan dalam
berkomunikasi antara satu daerah dan daerah lainnya, atau dapat juga dikatakan
bahasa mempermudah suku-suku dalam suatu bangsa dapat berkomunikasi tanpa
memikirkan salah paham yang akan terjadi di antara mereka.
Manusia akan dapat
menguasai atau menggunakan suatu bahasa asalkan tumbuh dalam suatu masyarakat.
Proses pemerolehan bahasa merupakan kontroversional diantara para ahli bahasa.
Pemersalahan yang mereka hadapi adalah apakah pemerolehan bahasa bersifat
nuture atau nature.
Para
pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nurture pada umumnya adalah
para ahli bahasa dari aliran behaviorisme. Kaum behavioris menekan bahwa proses
pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh
rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum
behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu
wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan bukan sesuatu yang
dilakukan.Padahal bahasa itu merupakan salah satunperilaku, di antara
perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka
menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak lebih mirip
dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
Pemerolehan bahasa
yang bersifat nurture yakni pemerolehan yang ditentukan oleh alam lingkungan.
Menurut aliran ini, manusia dilahirkan dengan suatu tabula rasa, yakni, seperti
kertas kosong putih. Kertas ini kemudian diisi oleh alam sekitar, termasuk
bahasanya.
Pada intinya yang
dimaksud dengan proses pemerolehan bahasa yang
bersifat nurture adalah bahwa proses pemerolehan bahasa seseorang itu
merupakan suatu kebiasaan yang dapat diperoleh melalui proses pengkondisian
(Brown, 2000:34). Anak-anak memberikan respon kebahasaan melalui
pemberian stimuli yang terus diperkuat dan mereka belajar memahami ujaran
dengan cara memberikan respon terhadap ujaran tersebut dan dengan cara mendapat
penguatan atas respon yang diberikannya. Jadi, pengetahuan apapun yang kemudian
diperoleh oleh manusia itu semata-mata berasal dari lingkungan atau kondisi
alam sekitarnya.
Pemerolehan bahasa
yang bersifat nature dari sudut pandang beberapa ahli, yaitu Noam
Chomsky, Derek Bickerton dan David McNeill. Pada dasarnya yang dimaksud dengan
proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah bahwa proses
pemerolehan bahasa ditentukan oleh pengetahuan yang dibawa sejak lahir dan
bahwa properti bawaan tersebut bersifat universal karena dialami atau dimiliki
oleh semua manusia (Brown, 2000:34).
Sebagai wujud dari
reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang merupakan
seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa
itu bersifat nurture atau dipengaruhi oleh lingkungan. Chomsky
berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan
pada nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan
dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu memelajari suatu
bahasa.
Alat tersebut
disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (language acquisition device/LAD)
yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak
dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236).
Pendukung lain dari
proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah Derek Bickerton
(Brown, 2000:35). Ia melakukan sejumlah penelitian mengenai bekal yang dibawa
manusia sejak lahir (innateness) dan mendapatkan beberapa bukti yang cukup
signifikan. Bukti-bukti tersebut mengungkapkan bahwa manusia itu
sesungguhnya telah “terprogram secara biologis” untuk beralih dari satu tahap
kebahasaan ke tahap kebahasaan berikutnya dan bahwa manusia terprogram sejak
lahir untuk menghasilkan sifat-sifat kebahasaan tertentu pada usia perkembangan
yang tertentu pula (Brown, 2000:35).
Dengan demikian pemerolehan bahasa
tidak ditentukan oleh proses kondisi yang diberikan pada anak namun ditentukan
oleh proses yang berjalan dengan sendirinya sejak anak lahir ke dunia seiring
dengan kematangan pengetahuan bahasa dan usia anak tersebut.
Brown (2000:24) menyatakan bahwa LAD
terdiri dari empat properti kebahasaan bawaan, yaitu:
- Kemampuan untuk membedakan bunyi ujaran manusia (speech sounds) dari bunyi lain dalam lingkungan
- Kemampuan untuk mengorganisir data kebahasaan menjadi beragam kelas yang dapat diperhalus atau diperbaiki di kemudian hari
- Pengetahuan bahwa hanya jenis sistem kebahasaan tertentu yang mungkin untuk digunakan dan jenis sistem lainnya tidak mungkin untuk digunakan
- Kemampuan untuk melakukan evaluasi secara konstan terhadap sistem kebahasaan yang terus berkembang sehingga dapat membangun sistem yang paling sederhana dari masukan kebahasaan yang ada.
Dengan demikian tampak bahwa
baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama
penting karena yang satu mendukung keberadaan yang lain. Memiliki kemampuan
bawaan sejak lahir untuk memelajari bahasa atau nature semata tidak
banyak bermanfaat jika tidak ada nurture atau pengaruh dari lingkungan.
Sebaliknya, tanpa nurture atau pengaruh dari lingkungan semata juga
tidak akan berpengaruh jika manusia tidak dibekali dengan kemampuan pribadi
untuk memeroleh bahasa.
B.
Penggunaan
Bahasa Indonesia
Secara umum penggunaan bahasa digunakan berdasarkan ragam bahasa yang ada.
Ragam bahasa terdiri dari bahasa formal dan bahasa tidak formal. Ragam bahasa
menurut topik pembicaraan mengacu pada pemakaian bahasa di bidang tertentu,
seperti bidang jurnalistik, kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa
menurut hubungan pembicara dan gaya penuturan mengacu pada formal atau
informal. Pemakaian bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi
pemakaian. Jika tidak disesuaikan maka akan terlihat tidak sesuai dalam situasi
tersebut.
Menurut Kridalaksana (1984: 165), ragam bahasa adalah variasi bahasa
menurut pemakaiannya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium
pembicaraan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya, yang
timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut. Ragam
bahasa oleh penuturnya dianggap ragam yang baik, yang biasa digunakan di
kalangan terdidik, di dalam situasi resmi atau hal-hal yang berkaitan dengan
hal-hal yang bersifat resmi disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Bahasa formal merupakan bahasa yang biasa digunakan dalam situasi resmi dan
hal-hal yang menyangkut formalitas. Menggunakan bahasa formal biasa juga
digunakan pada saat sedang berbicara kepada orang yang lebih tua atau memiliki
pangkat yang lebih tinggi.
Ada beberapa ciri-ciri dari bahasa formal, seperti, menggunakan unsur
gramatikal secara eksplisit dan konsisten, menggunakan imbuhan secara lengkap,
menggunakan kata ganti resmi, menggunakan kata baku, menggunakan EYD, dan
menghindari unsur kedaerahan.
Pembakuan bahasa Indonesia digunakan dalam ragam keilmuansebagai penyusunan
tata bahasa pada ragam bahasa yang di tulis. Bahasa baku sebagai ragam bahasa
di dunia pendidikan yang dikaji dan diteliti serta diajari di sekolah-sekolah.
Kridalaksana (dalam Hans Lapoliwa, 2008) mencatat empat fungsi bahasa yang
menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis,
(3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati.
Dua dari empat fungsi ini berkaitan langsung dengan komunikasi secara lisan,
seperti berbicara didepan umum, berpidato, mengajar dsb. Komunikasi secara
lisan juga berkaitan dengan orang yang dihormati, pembicara menggunakan bahasa
yang baku supaya sopan santun tetap terjaga.
Bahasa baku menghubungkan semua penutur berbagai macam-macam bahasa,
fungsinya mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat yang dapat berkomunikasi
dengan mudahnya serta meningkatkan identifikasi penuturan dari satu orang
terhadap orang yang lain. Fungsinya membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa
lain. Hal ini menjadi sebuah identitas suatu negara dan memperkuat kepribadian
nasional masyarakat khususnya di Indonesia.
Bahasa baku di Indonesia sudah berapa kali mengalami perubahan sesuai
pekembangan jaman. Pembakuan bahasa Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun
1901 dengan adanya pembakuan bahasa Indonesia Van Ophuijsen, kedua pada tahun
1947 dengan Ejaan Soewandi, dan akhirnya pada tahun 1975 sampai sekarang
menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan, yang menguraikan ejaan-ejaan,
kaidah-kaidah secara terperinci, memenuhi syarat yang diperlukan meskipun dalam
pelaksanaanya masih belum maksimal.
Berbeda dengan ragam bahasa formal, ragam bahasa nonformal merupakan
kebalikannya. Ragam bahasa nonformal dilakukan pada saat situasi yang santai,
dan biasa digunakan kepada orang yang sudah akrab. Ragam bahasa ini biasa
digunakan dalam situasi yang tidak resmi. Kaidah dan aturan yang berlaku dalam
bahasa baku tidak begitu diperhatikan yang penting orang yang mendengarkan
dapat mengerti apa yang kita bicarakan. Situasi ini kerap kali kita jumpai
seperti di pasar, di tempat-tempat yang tidak resmi dsb.
Kita dapat mengenali bahasa nonformal dari sifatnya yang khas, seperti
bentuk kalimatnya yang sederhana, singkat, kurang lengkap, dan tidak banyak
menggunakan kata penghubung. Kemudian menggunakan kata-kata yang biasa dan
sering digunakan dalam setiap pembicaraan.
Pada perkembangannya bahasa nonformal semakin bervariatif, seperti
penggunaan bahasa gaul yang sering digunakan oleh para remaja. Bahasa gaul adalah bahasa yang senantiasa
berkembang sebagai bahasa pergaulan. Selain itu dalam situs Lubis Grafura
(lubisgrafura.wordpress.com) menyatakan bahwa bahasa gaul merupakan variasi
bahasa non resmi yang memiliki karakteristik yang biasanya berupa singkatan dan
kosa kata. Jadi dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan bahasa gaul ialah
variasi bahasa yang senantiasa berkembang, bersifat sementara, dan biasanya
berupa singkatan dan kosa kata baru.
Dengan
memakai bahasa gaul, pemakainya akan dikatakan sebagai orang kota yang modern
dan bukan orang daerah yang kurang modern. Anggapan seperti ini jelas salah,
karena bahasa gaul sangat dekat dengan bahasa Betawi yang merupakan salah satu
bahasa daerah juga di Indoensia. Antara bahasa Indonesia dan bahasa gaul,
tentunya lebih modern dan lebih maju adalah bahasa Indonesia. Hal ini karena
Bahasa Indonesia merupakan bahasa tingkat nasional yang berasal dari
bahasa-bahasa daerah di Indonesia dan bahasa asing. Sebaliknya, bahasa gaul
hanya merupakan bahasa tingkat daerah yang berasal dari bahasa Betawi.
Contoh
bahasa-bahasa gaul:
1. GUE
Adalah bahasa “resmi” yang kini banyak
digunakan oleh kebanyakan orang (terutama orang dari Suku Betawi) untuk
menyebut “Saya/Aku”. Kata ini merupakan bahasa Betawi yang telah digunakan
secara luas, jauh sebelum bahasa prokem dikenal orang.
2. LO / LU
Sama seperti “Gue” kata ini pun sudah
digunakan digunakan oleh Suku Betawi sejak bertahun-tahun lalu dan menjadi kata
untuk menyebut “Anda/Kamu”.
C.
Bahasa dan
Masyarakat
Dalam kehidupan
bermasyarakat, tentunya kita tidak bisa lepas dari komunikasi antara satu
dengan yang lainnya karena kehidupan bermasyarakat adalah kehidupan individu
yang bersosial. Rukun atau tidaknya, baik atau buruknya sebuah kehidupan
bermasyarakat sangat ditentukan oleh sistem komunikasi yang baik.
Bahasa adalah
pikiran, perasaan, diwujudkan melalui ucapan yang diucapkan alat ucap manusia.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup berkelompok dan membentuk
lingkungan pergaulan yang tentunya mereka tinggal di dalamnya, bekerja dan
mencari kebutuhan hidup. Dari sinilah bahasa itu berfungsi sebagai alat
komunikasi.
Ada hal terpenting
yang harus kita ketahui tentang bahasa, yaitu mengenai dengan variasi bahasa.
Ada empat variasi bahasa yang perlu diketahui, yaitu:
Variasi bahasa yang
pertama kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut
idiolek yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan membuat konsep idiolek,
setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi
ini berkenaan dengan warna suara, cara berbicara, pembawaan bahasa, pilihan kata, gaya bahasa, dan suasana
kalimat. Tetapi yang paling dominan adalah mengenai warnai suara, sehingga
ketika sudah cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengarkan suaranya
kita dapat mengenal tanpa harus melihat orangnya. Hal ini karena setiap
individu memiliki kekhasan suara masing-masing.
Variasi kedua
berdasarkan penuturnya adalah disebut dialek yaitu variasi bahasa dari kelompok
penutur yang jumlahnya relatif berada pada suatu tempat atau wilayah tertentu,
karena dialek ini berdasarkan atau tempat tinggal penuturnya maka dialek ini
lazim disebut dialek daerah regional atau dialek geografis. Para penutur dalam
suatu dialek mempunyai idioleknya masing-masing namun memiliki kesamaan diri
yang menandai bahwa mereka berada pada suatu dialek kelompok yang berbeda.
Variasi bahasa yang
ketiga berdasarkan penuturnya disebut kronoleg atau dialek yakni variasi yang
digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Bentuk variasi bahasa yang
digunakan sangat berbeda, baik dari segi lafal, ejaan morfologi, maupun
sintaksis dan yang paling nampak yang biasanya dari segi leksikon.
Variasi bahasa yang
keempat, berdasarkan penuturnya disebut sosiolek atau dialek sosial, yaitu
variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para
penuturnya. Dalam sosio linguistik biasanya variasi inilah yang banyak
dibicarakan karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi pada penuturnya
seperti usia, pendidikan, pekerjaan tingkat kebangsawan, tingkat sosial
ekonomi.
Adanya hubungan
antara bentuk-bentuk bahasa tertentu yang disebut variasi, ragam atau dialek
dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat.
Misalnya, untuk kegiatan pendidikan atau kegiatan yang bersifat resmi kita
menggunakan ragam baku, untuk kegiatan yang santai atau situasi yang tidak
resmi menggunakan ragam tak baku. Penempatan penggunaan bahasa akan semakin
mempermudah masyarakat dalam berkomunikasi.
Ragam bahasa juga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penutur (terutama pendidikan formal) akan
menunjukkan perbedaan yang jelas antara masyarakat yang berpendidikan formal
dengan masyarakat yang tidak berpendidikan formal. Perbedaan
di sini lebih banyak terjadi dalam pelafalan kata atau bunyi serta penguasaan
penggunaan bahasa secara baik (dalam hal tata bahasanya). Kedua hal tersebut
akan berbeda tingkat kemampuan dan penguasaan antara orang yang berpendidikan
formal dengan yang tidak berpendidikan formal. Misalnya dalam melafalkan
kata-kata film, fitnah, dan kompleks, oleh orang berpendidikan formal kata-kata
tersebut tentunya akan dilafalkan dengan benar sesuai dengan bunyi fonem yang
benar, yaitu film, fitnah, dan kompleks.
Akan tetapi berbeda dengan orang yang
tidak mengalami pendidikan formal mungkin akan melafalkan dengan pilm, pitnah,
dan komplek. Sedangkan dalam hal tata bahasa ketika seseorang mengucapkan “Saya
akan bakar itu sampah setelah saya mandi” barangkali orang lain dapat menangkap
maksud yang disampaikan. Akan tetapi, dari segi tata bahasa, kalimat tersebut
kurang baik. Sedangkan yang baik menurut tata bahasa adalah “Saya akan membakar
sampah itu setelah saya mandi”.
Dalam kaitannya dengan situasi
kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia
bertemali dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau
multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia
sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah
sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing.
Studi pemilihan bahasa dalam
masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur (speech) daripada aspek
bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif berubah-ubah sesuai
dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial budaya. Hymes (1972; 1973;
1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang merupakan
salah satu topik di dalam etnografi komunikasi (the etnography of
communication), yang oleh Fishman (1976: 15) dan Labov (1972: 283) disebut
sebagai variabel sosiolinguistik.
Menurut sikap
penutur, ragam bahasa mencakupi sejumlah corak bahasa dimana pemilihannya
bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak bicara atau mitra
tutur. Sikap berbahasa ini diantaranya dipengaruhi oleh
umur dan kedudukan mitra tutur, tingkat keakraban antarpenutur pokok persoalan
yang dibicarakan (hendak disampaikan) serta tujuan penyampaian informasinya.
Ragam bahasa dalam hal ini berhadapan dengan pemilihan bentuk-bentuk bahasa
tertentu yang menggambarkan sikap kita yang resmi, santai, dingin, hangat, atau
yang lain. Sedangakan perbedaan berbagai gaya
tersebut tercermin dalam kosakata yang digunakan oleh penutur ketika berbicara
dengan mitra tuturnya.
Kemudian pada umumnya
setiap manusia hidup dalam ikatan suatu masyarakat. Dengan sesamanya, seorang
itu senantiasa bergaul, berhubungan, gotong royong, dan bekerjasama untuk
kepentingan bersama, untuk melaksanakan segala kegiatan sosial. Dalam
melaksanakan segala kegiatan sosial, setiap anggota masyarakat sangat
memerlukan pemakaian bahasa.
Terkadang pemakaian
bahasa dalam sebuah negara hanya mengenal satu atau dua bahasa, tetapi ad juga
negara yang linguistiknya terpilah-pilah, sehingga tidak mustahil setiap anak
menjadi dwibahasawan (bilingual) atau anekabahasawan (multingual). Indonesia
dapat menjadi contoh negara semacam itu. Setiap negara mempunyai satu bahasa
yang dipahami oleh sebagian besar penduduknya, mungkin masalah yang dihadapi
tidak begitu rumit. Tetapi terdapat juga bahasa-bahasa kecil (bahasa
minoritas), bahkan sebagian terpencil dimiliki oleh suatu negara. Negara India
misalnya, dalam undang-undang dasarnya mengakui terdapat 14 bahasa; 13
diantaranya digunakan sekurang-kurangnya dua juta orang.
D. Nasionalitas dan Nasion
Ada orang yang
merasa menjadi bagian dari “bangsa x” tetapi tidak merasa perlu memiliki
wilayah sendiri dalam masyarakat aneka bahasa. Dalam
hubungan dengan batas-batas yang tidak begitu jelas antara “bangsa” dan bahasa
dalam masyarakat majemuk (plural society), muncullah konsepsi Fishman tentang
nasionalitas (nationality) dan nasion (nation). Kita tidak bisa menerjemahkan
kedua istilah tersebut dengan kebangsaan dan bangsa, sebab keduanya mempunyai
makna yang tidak selaras bahkan dianggap bertentangan.
Menurut Fishman,
nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa sebagai sebagai suatu satuan
nasional yang berbeda dari kelompok lain, tetapi tidak didasarkan atas ukuran
wilayah. Nasionalitas harus dibedakan dari istilah
kelompok etnis. Kelompok etnikmerupakan organisasi sosiokultural yang “lebih
sederhana, lebih kecil, lebih khas, lebih lokalistik”. Dalam sosiolinguistik,
nasionalitas dan etnis dianggap bukan sebagai dua hal atau dua kubu yang sangat
berbeda dan terpisah, melainkan merupakan dua titik ujung (ekstrem) dari sebuah
rentangan garis. Dengan demikian, suatu kelompok bisa cenderung ke titik
keetnikan atau ke arah nasionalitas.
Hal lain yang perlu diperhatikan dari
definisi diatas bahwa nasionalitas tidak perlu mempunyai wilayah otonomi
sendiri. Menurut Fishman, istilah nasionalitas tersebut “netral” atau bebas
dari persoalan ada atau tidak adanya satuan politik (negara) terkait.
Sedangkan nasion
menurut Fishman adalah suatu satuan politik teritorial yang sebagian besar
menjadi menjadi atau makin menjadi dibawah kontrol nasionalitas tertentu. Suatu nasion itu berbeda dengan apa yang disebut state (negara atau
negara bagian), polity (satuan politik), atau country (negara), karena semuanya
itu bisa tidak bebas dari kontrol luar. Lebih lagi, tidak seperti nasion, suatu
negara tidak mempunyai nasionalitas tunggal (single nationality) yang utama
(berkuasa). Maka dari itu batasan Fishman tidak dapat dipakai untuk berbicara
tentang negara multinasional atau negara aneka bangsa atau bangsa yang terdiri
dari berbagai bangsa. Tetapi, suatu nasion dapat terdiri dari berbagai etnik.
Dari penjelasan-penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa, bahasa merupakan jembatan komunikasi yang dapat
mempermudah masyarakat untuk berkomunikasi. Dalam setiap Negara memiliki ciri
khas bahasanya masing-masing. Bahasa yang digunakan dalam suatu Negara juga
sangat bervariatif. Seperti halnya Negara Indonesia ,
variasi ragam bahasa yang sering digunakan adalah ragam baku
dan ragam tidak baku .
Kebanyakan masyarakat di Negara Indonesia
menggunakan bahasa tidak baku
seperti bahasa gaul.
Bahasa Indonesia adalah bahasa
pemersatu. Meskipun Indonesia
mempunyai berbagai macam suku, budaya dan adat istiadat, tetaplah melestarikan
bahasa kita, bahasa Indonesia. Jagalah selalu budaya menggunakan bahasa Indonesia ,
agar bahasa bangsa kita ini tidak musnah di telan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, S. (2005). Psikolinguistik:
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Chaer, A. Dkk. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suyoto. Dkk. (2011). Pengantar Linguistik Umum.
Yogyakarta: Media Perkasa.
Nasuca, Y. Dkk. (2012). Bahasa Indonesia: untuk Penulisan Karya Tulis
Ilmiah.
Yogyakarta: Media Perkasa.
Perfana, P. & Sumarsono. (2002).
Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA.
Rizal, F. (2013). Pandangan atau Paham dalam Pembelajaran
Bahasa. [Online].
Pitigh, S. (2011). Kontroversi Nurture dan Nature dalam
Psikolinguistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar