Rabu, 19 Maret 2014



BAHASA INDONESIA DALAM MASYARAKAT
Dosen: Mai Yuliastri Simarmata, M. Pd


Disusun Oleh :
Nama              :           Veronika Liyanti
NIM                :           521200074
Kelas               :           A Sore
Semester         :           2 ( Genap )
Prog. Studi      :           Pendidikan Bahasa Inggris




SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
PONTIANAK
2013

BAHASA INDONESIA DALAM MASYARAKAT
VERONIKA LIYANTI
521200074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS, SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
JL. ILHAM NO. 45 KOTA BARU 78116 PONTIANAK


Abstrak. Bahasa merupakan alat penyambung komunikasi dalam suatu daerah atau wilayah. Hal ini karena begitu banyaknya suku di daerah tersebut, sehingga masyarakat kesulitan berinteraksi. Adanya bahasa dapat mempermudah individu-individu berinteraksi dalam kegiatan sosial. Dalam memecahkan permasalahan ini digunakanlah metode deskriptif kualitatif. Dengan demikian masyarakat dapat bersatu melalui bahasa daerah mereka.

Kata kunci. Deskriptif, kualitatif, dwibahasawan, anekabahasawan, dan dialek.

Bangsa Indonesia memiliki keberagaman yang merupakan anugerah yang dilimpahi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Negara kita merupakan salah satu negara kepulauan yang besar. Dapat dilihat dari sabang sampai merauke. Suku di Indonesia juga beragam, adat dan budaya menjadi bagian dari Negara Indonesia. Setiap suku di Indonesia memiliki keragaman budaya yang beragam dan memiliki adat istiadat yang berbeda termasuk cara bertutur (berbahasa). Hal inilah yang membuat Indonesia menjadi negara yang variatif.
Setiap bahasa yang digunakan dalam suatu suku berbeda-beda. Penggunaan bahasa dalam satu rumpun kebudayaan yang sama hanya terjadi dalam komunikasi antar masyarakat dalam lingkup daerah tertentu. Seperti masyarakat Pontianak, menggunakan bahasa Melayu untuk berkomunikasai sesama orang Pontianak dan masyarakat Batak menggunakan bahasa Batak untuk berkomunikasi sesama orang Batak. Hal itu menjadi kendala sehingga dibutuhkan bahasa nasional yang bertujuan sebagai jembatan komunikasi dan sebagai sarana pemersatuan bahasa pada masyarakat.
Dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, hambatan komunikasi yang disebabkan berbeda latar belakang sosial, budaya, dan bahasa daerah dapat teratasi dengan bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. Pada kitab UUD 1945 menerangkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangatlah kuat. Pasal 36 berbunyi, “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”. Penjabaran pasal ini secara lebih luas dapat diartikan bahwa penggunaan bahasa Indonesia menjadi kewajiban untuk setiap kepentingan kenegaraan dan urusan tata pemerintahan. Bahasa Indonesia menjadi kewajiban yang harus diketahui oleh masyarakat Indonesia, sehingga dalam dunia pendidikan bahasa Indonesia wajib dipelajari.
Bagaimanakah bangsa Indonesia akan bersatu apabila bahasa pemersatu Bahasa Indonesia tidak terjalin dengan baik hanya karena suku bangsa Indonesia memiliki bahasa yang berbeda-beda? Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi digunakan dalam beberapa keperluan dan dalam situasi atau kondisi yang berbeda-beda. Keanekaragaman itulah yang dinamakan ragam bahasa indonesia. Berdasarkan uraian di atas maka artikel yang akan saya bahas adalah “Bahasa Indonesia dalam Masyarakat”.
Dalam masalah ini metode yang saya gunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif atau metode penelitian kualitaf merupakan metode untuk menyelidiki obyek yang tidak dapat diukur dengan angka-angka ataupun ukuran lain yang bersifat eksak. Metode ini juga dapat diartikan riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Jadi metode ini dapat diberlakukan terhadap masalah-masalah yang akan dibahas dalam artikel ini selanjutnya.

Berikut adalah pembahasan bahasa Indonesia dalam masyarakat:
A.    Pengertian Bahasa
Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Pengertian bahasa sebagai alat komunikasi adalah bagian dari dimensi sosial yang khusus membahas pola interaksi antar manusia dengan menggunakan ide atau gagasan lewat lambang atau bunyi ujaran. Bahasa juga sebagai lambang dari suatu negara. Masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut dapat kita ketahui ketika mereka berbicara menggunakan bahasa mereka masing-masing.
Hakikat sistem komunikasi menurut analogi dari person adalah suatu pola hubungan yang saling melengkapi antara sistem dalam sistem komunikasi. Sebagai alat komunikasi bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita, dan memungkinkan kita dapat bekerja sama antar sesama anggota masyarakat.
Kemudian pengertian bahasa menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pengertian bahasa menurut Owem dapat diartikan bahwa bahasa merupakan simbol yang ditentukan oleh pemerintah sebagai pemersatu suatu daerah atau wilayah yang kesulitan dalam berkomunikasi antara satu daerah dan daerah lainnya, atau dapat juga dikatakan bahasa mempermudah suku-suku dalam suatu bangsa dapat berkomunikasi tanpa memikirkan salah paham yang akan terjadi di antara mereka.
Manusia akan dapat menguasai atau menggunakan suatu bahasa asalkan tumbuh dalam suatu masyarakat. Proses pemerolehan bahasa merupakan kontroversional diantara para ahli bahasa. Pemersalahan yang mereka hadapi adalah apakah pemerolehan bahasa bersifat nuture atau nature.
Para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nurture pada umumnya adalah para ahli bahasa dari aliran behaviorisme. Kaum behavioris menekan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan.Padahal bahasa itu merupakan salah satunperilaku, di antara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
 Pemerolehan bahasa yang bersifat nurture yakni pemerolehan yang ditentukan oleh alam lingkungan. Menurut aliran ini, manusia dilahirkan dengan suatu tabula rasa, yakni, seperti kertas kosong putih. Kertas ini kemudian diisi oleh alam sekitar, termasuk bahasanya.
Pada intinya yang dimaksud dengan proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture adalah bahwa proses pemerolehan bahasa seseorang itu merupakan suatu kebiasaan yang dapat diperoleh melalui proses pengkondisian (Brown, 2000:34).  Anak-anak memberikan respon kebahasaan melalui pemberian stimuli yang terus diperkuat dan mereka belajar memahami ujaran dengan cara memberikan respon terhadap ujaran tersebut dan dengan cara mendapat penguatan atas respon yang diberikannya. Jadi, pengetahuan apapun yang kemudian diperoleh oleh manusia itu semata-mata berasal dari lingkungan atau kondisi alam sekitarnya.
Pemerolehan bahasa yang bersifat nature dari sudut pandang beberapa ahli, yaitu Noam Chomsky, Derek Bickerton dan David McNeill. Pada dasarnya yang dimaksud dengan proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah bahwa proses pemerolehan bahasa ditentukan oleh pengetahuan yang dibawa sejak lahir dan bahwa properti bawaan tersebut bersifat universal karena dialami atau dimiliki oleh semua manusia (Brown, 2000:34).
Sebagai wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang merupakan seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat nurture atau dipengaruhi oleh lingkungan. Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu memelajari suatu bahasa.
Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (language acquisition device/LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236).
Pendukung lain dari proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah Derek Bickerton (Brown, 2000:35). Ia melakukan sejumlah penelitian mengenai bekal yang dibawa manusia sejak lahir (innateness) dan mendapatkan beberapa bukti yang cukup signifikan. Bukti-bukti tersebut mengungkapkan  bahwa manusia itu sesungguhnya telah “terprogram secara biologis” untuk beralih dari satu tahap kebahasaan ke tahap kebahasaan berikutnya dan bahwa manusia terprogram sejak lahir untuk menghasilkan sifat-sifat kebahasaan tertentu pada usia perkembangan yang tertentu pula (Brown, 2000:35).
Dengan demikian pemerolehan bahasa tidak ditentukan oleh proses kondisi yang diberikan pada anak namun ditentukan oleh proses yang berjalan dengan sendirinya sejak anak lahir ke dunia seiring dengan kematangan pengetahuan bahasa dan usia anak tersebut.
Brown (2000:24) menyatakan bahwa LAD terdiri dari empat properti kebahasaan bawaan, yaitu:
  1. Kemampuan untuk membedakan bunyi ujaran manusia (speech sounds) dari bunyi lain dalam lingkungan
  2. Kemampuan untuk mengorganisir data kebahasaan menjadi beragam kelas yang dapat diperhalus atau diperbaiki di kemudian hari
  3. Pengetahuan bahwa hanya jenis sistem kebahasaan tertentu yang mungkin untuk digunakan dan jenis sistem lainnya tidak mungkin untuk digunakan
  4. Kemampuan untuk melakukan evaluasi secara konstan terhadap sistem kebahasaan yang terus berkembang sehingga dapat membangun sistem yang paling sederhana dari masukan kebahasaan yang ada.
Dengan demikian tampak bahwa baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama penting karena yang satu mendukung keberadaan yang lain. Memiliki kemampuan bawaan sejak lahir untuk memelajari bahasa atau nature semata tidak banyak bermanfaat jika tidak ada nurture atau pengaruh dari lingkungan. Sebaliknya, tanpa nurture atau pengaruh dari lingkungan semata juga tidak akan berpengaruh jika manusia tidak dibekali dengan kemampuan pribadi untuk memeroleh bahasa.

B.     Penggunaan Bahasa Indonesia
Secara umum penggunaan bahasa digunakan berdasarkan ragam bahasa yang ada. Ragam bahasa terdiri dari bahasa formal dan bahasa tidak formal. Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada pemakaian bahasa di bidang tertentu, seperti bidang jurnalistik, kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pembicara dan gaya penuturan mengacu pada formal atau informal. Pemakaian bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi pemakaian. Jika tidak disesuaikan maka akan terlihat tidak sesuai dalam situasi tersebut.
Menurut Kridalaksana (1984: 165), ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pembicaraan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut. Ragam bahasa oleh penuturnya dianggap ragam yang baik, yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam situasi resmi atau hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat resmi disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Bahasa formal merupakan bahasa yang biasa digunakan dalam situasi resmi dan hal-hal yang menyangkut formalitas. Menggunakan bahasa formal biasa juga digunakan pada saat sedang berbicara kepada orang yang lebih tua atau memiliki pangkat yang lebih tinggi.
Ada beberapa ciri-ciri dari bahasa formal, seperti, menggunakan unsur gramatikal secara eksplisit dan konsisten, menggunakan imbuhan secara lengkap, menggunakan kata ganti resmi, menggunakan kata baku, menggunakan EYD, dan menghindari unsur kedaerahan.
Pembakuan bahasa Indonesia digunakan dalam ragam keilmuansebagai penyusunan tata bahasa pada ragam bahasa yang di tulis. Bahasa baku sebagai ragam bahasa di dunia pendidikan yang dikaji dan diteliti serta diajari di sekolah-sekolah.
Kridalaksana (dalam Hans Lapoliwa, 2008) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Dua dari empat fungsi ini berkaitan langsung dengan komunikasi secara lisan, seperti berbicara didepan umum, berpidato, mengajar dsb. Komunikasi secara lisan juga berkaitan dengan orang yang dihormati, pembicara menggunakan bahasa yang baku supaya sopan santun tetap terjaga.
Bahasa baku menghubungkan semua penutur berbagai macam-macam bahasa, fungsinya mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat yang dapat berkomunikasi dengan mudahnya serta meningkatkan identifikasi penuturan dari satu orang terhadap orang yang lain. Fungsinya membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa lain. Hal ini menjadi sebuah identitas suatu negara dan memperkuat kepribadian nasional masyarakat khususnya di Indonesia.
Bahasa baku di Indonesia sudah berapa kali mengalami perubahan sesuai pekembangan jaman. Pembakuan bahasa Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1901 dengan adanya pembakuan bahasa Indonesia Van Ophuijsen, kedua pada tahun 1947 dengan Ejaan Soewandi, dan akhirnya pada tahun 1975 sampai sekarang menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan, yang menguraikan ejaan-ejaan, kaidah-kaidah secara terperinci, memenuhi syarat yang diperlukan meskipun dalam pelaksanaanya masih belum maksimal.
Berbeda dengan ragam bahasa formal, ragam bahasa nonformal merupakan kebalikannya. Ragam bahasa nonformal dilakukan pada saat situasi yang santai, dan biasa digunakan kepada orang yang sudah akrab. Ragam bahasa ini biasa digunakan dalam situasi yang tidak resmi. Kaidah dan aturan yang berlaku dalam bahasa baku tidak begitu diperhatikan yang penting orang yang mendengarkan dapat mengerti apa yang kita bicarakan. Situasi ini kerap kali kita jumpai seperti di pasar, di tempat-tempat yang tidak resmi dsb.
Kita dapat mengenali bahasa nonformal dari sifatnya yang khas, seperti bentuk kalimatnya yang sederhana, singkat, kurang lengkap, dan tidak banyak menggunakan kata penghubung. Kemudian menggunakan kata-kata yang biasa dan sering digunakan dalam setiap pembicaraan.
Pada perkembangannya bahasa nonformal semakin bervariatif, seperti penggunaan bahasa gaul yang sering digunakan oleh para remaja. Bahasa gaul adalah bahasa yang senantiasa berkembang sebagai bahasa pergaulan. Selain itu dalam situs Lubis Grafura (lubisgrafura.wordpress.com) menyatakan bahwa bahasa gaul merupakan variasi bahasa non resmi yang memiliki karakteristik yang biasanya berupa singkatan dan kosa kata. Jadi dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud dengan bahasa gaul ialah variasi bahasa yang senantiasa berkembang, bersifat sementara, dan biasanya berupa singkatan dan kosa kata baru.
Dengan memakai bahasa gaul, pemakainya akan dikatakan sebagai orang kota yang modern dan bukan orang daerah yang kurang modern. Anggapan seperti ini jelas salah, karena bahasa gaul sangat dekat dengan bahasa Betawi yang merupakan salah satu bahasa daerah juga di Indoensia. Antara bahasa Indonesia dan bahasa gaul, tentunya lebih modern dan lebih maju adalah bahasa Indonesia. Hal ini karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa tingkat nasional yang berasal dari bahasa-bahasa daerah di Indonesia dan bahasa asing. Sebaliknya, bahasa gaul hanya merupakan bahasa tingkat daerah yang berasal dari bahasa Betawi.
Contoh bahasa-bahasa gaul:
1. GUE
Adalah bahasa “resmi” yang kini banyak digunakan oleh kebanyakan orang (terutama orang dari Suku Betawi) untuk menyebut “Saya/Aku”. Kata ini merupakan bahasa Betawi yang telah digunakan secara luas, jauh sebelum bahasa prokem dikenal orang. 
2. LO / LU
Sama seperti “Gue” kata ini pun sudah digunakan digunakan oleh Suku Betawi sejak bertahun-tahun lalu dan menjadi kata untuk menyebut “Anda/Kamu”.

C.     Bahasa dan Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya kita tidak bisa lepas dari komunikasi antara satu dengan yang lainnya karena kehidupan bermasyarakat adalah kehidupan individu yang bersosial. Rukun atau tidaknya, baik atau buruknya sebuah kehidupan bermasyarakat sangat ditentukan oleh sistem komunikasi yang baik.
Bahasa adalah pikiran, perasaan, diwujudkan melalui ucapan yang diucapkan alat ucap manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup berkelompok dan membentuk lingkungan pergaulan yang tentunya mereka tinggal di dalamnya, bekerja dan mencari kebutuhan hidup. Dari sinilah bahasa itu berfungsi sebagai alat komunikasi.
Ada hal terpenting yang harus kita ketahui tentang bahasa, yaitu mengenai dengan variasi bahasa. Ada empat variasi bahasa yang perlu diketahui, yaitu:
Variasi bahasa yang pertama kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut idiolek yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan membuat konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi ini berkenaan dengan warna suara, cara berbicara, pembawaan bahasa,  pilihan kata, gaya bahasa, dan suasana kalimat. Tetapi yang paling dominan adalah mengenai warnai suara, sehingga ketika sudah cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengarkan suaranya kita dapat mengenal tanpa harus melihat orangnya. Hal ini karena setiap individu memiliki kekhasan suara masing-masing.
Variasi kedua berdasarkan penuturnya adalah disebut dialek yaitu variasi bahasa dari kelompok penutur yang jumlahnya relatif berada pada suatu tempat atau wilayah tertentu, karena dialek ini berdasarkan atau tempat tinggal penuturnya maka dialek ini lazim disebut dialek daerah regional atau dialek geografis. Para penutur dalam suatu dialek mempunyai idioleknya masing-masing namun memiliki kesamaan diri yang menandai bahwa mereka berada pada suatu dialek kelompok yang berbeda.
Variasi bahasa yang ketiga berdasarkan penuturnya disebut kronoleg atau dialek yakni variasi yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Bentuk variasi bahasa yang digunakan sangat berbeda, baik dari segi lafal, ejaan morfologi, maupun sintaksis dan yang paling nampak yang biasanya dari segi leksikon.
Variasi bahasa yang keempat, berdasarkan penuturnya disebut sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosio linguistik biasanya variasi inilah yang banyak dibicarakan karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi pada penuturnya seperti usia, pendidikan, pekerjaan tingkat kebangsawan, tingkat sosial ekonomi.
Adanya hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat. Misalnya, untuk kegiatan pendidikan atau kegiatan yang bersifat resmi kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan yang santai atau situasi yang tidak resmi menggunakan ragam tak baku. Penempatan penggunaan bahasa akan semakin mempermudah masyarakat dalam berkomunikasi.
Ragam bahasa juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penutur (terutama pendidikan formal) akan menunjukkan perbedaan yang jelas antara masyarakat yang berpendidikan formal dengan masyarakat yang tidak berpendidikan formal. Perbedaan di sini lebih banyak terjadi dalam pelafalan kata atau bunyi serta penguasaan penggunaan bahasa secara baik (dalam hal tata bahasanya). Kedua hal tersebut akan berbeda tingkat kemampuan dan penguasaan antara orang yang berpendidikan formal dengan yang tidak berpendidikan formal. Misalnya dalam melafalkan kata-kata film, fitnah, dan kompleks, oleh orang berpendidikan formal kata-kata tersebut tentunya akan dilafalkan dengan benar sesuai dengan bunyi fonem yang benar, yaitu film, fitnah, dan kompleks.
Akan tetapi berbeda dengan orang yang tidak mengalami pendidikan formal mungkin akan melafalkan dengan pilm, pitnah, dan komplek. Sedangkan dalam hal tata bahasa ketika seseorang mengucapkan “Saya akan bakar itu sampah setelah saya mandi” barangkali orang lain dapat menangkap maksud yang disampaikan. Akan tetapi, dari segi tata bahasa, kalimat tersebut kurang baik. Sedangkan yang baik menurut tata bahasa adalah “Saya akan membakar sampah itu setelah saya mandi”.
Dalam kaitannya dengan situasi kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia bertemali dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam  masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing.
Studi pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur (speech) daripada aspek bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif berubah-ubah sesuai dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial budaya. Hymes (1972; 1973; 1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang merupakan salah satu topik di dalam etnografi komunikasi (the etnography of communication), yang oleh Fishman (1976: 15) dan Labov (1972: 283) disebut sebagai variabel sosiolinguistik.
Menurut sikap penutur, ragam bahasa mencakupi sejumlah corak bahasa dimana pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak bicara atau mitra tutur. Sikap berbahasa ini diantaranya dipengaruhi oleh umur dan kedudukan mitra tutur, tingkat keakraban antarpenutur pokok persoalan yang dibicarakan (hendak disampaikan) serta tujuan penyampaian informasinya. Ragam bahasa dalam hal ini berhadapan dengan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap kita yang resmi, santai, dingin, hangat, atau yang lain. Sedangakan perbedaan berbagai gaya tersebut tercermin dalam kosakata yang digunakan oleh penutur ketika berbicara dengan mitra tuturnya.
Kemudian pada umumnya setiap manusia hidup dalam ikatan suatu masyarakat. Dengan sesamanya, seorang itu senantiasa bergaul, berhubungan, gotong royong, dan bekerjasama untuk kepentingan bersama, untuk melaksanakan segala kegiatan sosial. Dalam melaksanakan segala kegiatan sosial, setiap anggota masyarakat sangat memerlukan pemakaian bahasa.
Terkadang pemakaian bahasa dalam sebuah negara hanya mengenal satu atau dua bahasa, tetapi ad juga negara yang linguistiknya terpilah-pilah, sehingga tidak mustahil setiap anak menjadi dwibahasawan (bilingual) atau anekabahasawan (multingual). Indonesia dapat menjadi contoh negara semacam itu. Setiap negara mempunyai satu bahasa yang dipahami oleh sebagian besar penduduknya, mungkin masalah yang dihadapi tidak begitu rumit. Tetapi terdapat juga bahasa-bahasa kecil (bahasa minoritas), bahkan sebagian terpencil dimiliki oleh suatu negara. Negara India misalnya, dalam undang-undang dasarnya mengakui terdapat 14 bahasa; 13 diantaranya digunakan sekurang-kurangnya dua juta orang.
D.    Nasionalitas dan Nasion
Ada orang yang merasa menjadi bagian dari “bangsa x” tetapi tidak merasa perlu memiliki wilayah sendiri dalam masyarakat aneka bahasa. Dalam hubungan dengan batas-batas yang tidak begitu jelas antara “bangsa” dan bahasa dalam masyarakat majemuk (plural society), muncullah konsepsi Fishman tentang nasionalitas (nationality) dan nasion (nation). Kita tidak bisa menerjemahkan kedua istilah tersebut dengan kebangsaan dan bangsa, sebab keduanya mempunyai makna yang tidak selaras bahkan dianggap bertentangan.
Menurut Fishman, nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa sebagai sebagai suatu satuan nasional yang berbeda dari kelompok lain, tetapi tidak didasarkan atas ukuran wilayah. Nasionalitas harus dibedakan dari istilah kelompok etnis. Kelompok etnikmerupakan organisasi sosiokultural yang “lebih sederhana, lebih kecil, lebih khas, lebih lokalistik”. Dalam sosiolinguistik, nasionalitas dan etnis dianggap bukan sebagai dua hal atau dua kubu yang sangat berbeda dan terpisah, melainkan merupakan dua titik ujung (ekstrem) dari sebuah rentangan garis. Dengan demikian, suatu kelompok bisa cenderung ke titik keetnikan atau ke arah nasionalitas.
Hal lain yang perlu diperhatikan dari definisi diatas bahwa nasionalitas tidak perlu mempunyai wilayah otonomi sendiri. Menurut Fishman, istilah nasionalitas tersebut “netral” atau bebas dari persoalan ada atau tidak adanya satuan politik (negara) terkait.
Sedangkan nasion menurut Fishman adalah suatu satuan politik teritorial yang sebagian besar menjadi menjadi atau makin menjadi dibawah kontrol nasionalitas tertentu. Suatu nasion itu berbeda dengan apa yang disebut state (negara atau negara bagian), polity (satuan politik), atau country (negara), karena semuanya itu bisa tidak bebas dari kontrol luar. Lebih lagi, tidak seperti nasion, suatu negara tidak mempunyai nasionalitas tunggal (single nationality) yang utama (berkuasa). Maka dari itu batasan Fishman tidak dapat dipakai untuk berbicara tentang negara multinasional atau negara aneka bangsa atau bangsa yang terdiri dari berbagai bangsa. Tetapi, suatu nasion dapat terdiri dari berbagai etnik.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, bahasa merupakan jembatan komunikasi yang dapat mempermudah masyarakat untuk berkomunikasi. Dalam setiap Negara memiliki ciri khas bahasanya masing-masing. Bahasa yang digunakan dalam suatu Negara juga sangat bervariatif. Seperti halnya Negara Indonesia, variasi ragam bahasa yang sering digunakan adalah ragam baku dan ragam tidak baku. Kebanyakan masyarakat di Negara Indonesia menggunakan bahasa tidak baku seperti bahasa gaul.
Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu. Meskipun Indonesia mempunyai berbagai macam suku, budaya dan adat istiadat, tetaplah melestarikan bahasa kita, bahasa Indonesia. Jagalah selalu budaya menggunakan bahasa Indonesia, agar bahasa bangsa kita ini tidak musnah di telan waktu.





DAFTAR PUSTAKA


Dardjowidjojo, S. (2005).   Psikolinguistik:  Pengantar  Pemahaman  Bahasa  Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Chaer, A. Dkk. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suyoto. Dkk. (2011). Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Media Perkasa.
Nasuca, Y. Dkk. (2012). Bahasa Indonesia: untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah.
Yogyakarta: Media Perkasa.
Perfana, P. & Sumarsono. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA.
Rizal, F. (2013). Pandangan atau Paham dalam Pembelajaran Bahasa. [Online].
Pitigh, S. (2011). Kontroversi Nurture dan Nature dalam Psikolinguistik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar