Rabu, 24 September 2014

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN (Dewasa Awal)

I.                                                                                                                                              TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
HAKIKAT MASA DEWASA AWAL PERKEMBANGAN SEKSUAL, INTELEKTUAL, MORAL DAN RELIGI YANG DIALAMI MASA DEWASA
Dosen: Hastiani, M. Pd

Disusun Oleh :
Anggota Kelompok 3:
·         Ardila
·         Ruba’i
·         Tika Kurniawati
·         Uray Gita F
·         Veronika Liyanti
·         Yustina Sabu
Semester            :               4 (Genap)
Prog. Studi          :               Pendidikan Bahasa Inggris


INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
PONTIANAK

2014



  Pengertian Dewasa Awal
Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa. Peralihan dari ketergantungan kemasa mandiri baik dari ekonomi, kebebasan menentukan diri, dan pandangan masa depan lebih realistis.
Secara hukum dewasa awal sejak seseorang menginjak usia 21 tahun (meskipun belum menikah) atau sejak seseorang menikah (meskipun belum berusia 21 tahun). Sedangkan dari lingkup pendidikan yaitu masa dicapainya  kemasakan kognitif, afektif dan psikomotor sebagai hasil ajar latih yang ditunjang kesiapan. (Mappiare 15:1983). Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 1996).
Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja yang ditandai dengan pencarian identitas diri yang didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur kronologis dan mentalege-nya.
Dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan yang baru, dan harapan-harapan sosial yang baru. (H. S. Becker)
Seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi yaitu merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri krena berbeda dengan orang lain. ( Erickson dalam Monks, Knoers dan Haditono : 2001)
Menurut Havighurst ( dalam Monks, Knoers dan Haditono : 2001) tugas perkembangan dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tanggung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan.
Masa dewasa awal atau “early adultood” terbentang sejak tercapainya kematangan secara hukum sampai kira-kita umur usia empat puluh tahun ( dialami seseorang sekitar dua puluh tahun). (E. B. Hurlock, 1993)
Masa dewasa awal adalah masa kelanjutan dari masa remaja, sehingga ciri-ciri masa remaja tidak jauh berbeda dengan perkembangan remaja.
Orang dewasa muda termasuk masa transisi baik secara fisik, intelektual, peran sosial dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Beberapa karakteristik dewasa awal dan pada salah satu nantinya dikatakan bahwa dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperoleh. (Hurlock : 1993)
Dewasa awal merupakan masa dari perkembangan fisik yang mengalami degradasi mengikuti umur seseorang. Pada masa dewasa awal motivasi untuk meraih sesuatu hal sangat besar yang diduking oleh kekuatan fisik yang prima.

II.                Perkembangan pada Masa Dewasa Awal
Perkembangan yang terdapat pada masa dewasa awal meliputi, sebagai berikut:
A.    Perkembangan Seksual
Perkembangan seksual pada masa dewasa awal ini meliputi heteroseksual dan homoseksual.
1.      Heteroseksual
Heteroseksual atau heteroseksualitas merupakan ketertarikan romantic, ketertarikan seksual, atau kebiasaan seksual orang-orang yang berbeda jenis kelamin atau gender dalam pengertian pasangan gender. Sebagai sebuah orientasi seksual, heteroseksualitas merujuk pada "suatu pola atau watak tetap untuk mengalami ketertarikan seksual, kasih sayang, fisik, atau romantis terhadap orang-orang yang berjenis kelamin berbeda"; istilah ini juga merujuk pada "suatu identitas diri seseorang berdasarkan ketertarikan-ketertarikan di atas, kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan, serta keanggotaannya dalam sebuah komunitas yang memiliki ketertarikan yang sama seperti dirinya".
2.      Homoseksual
Istilah “homoseksual” paling sering digunakan untuk menggambarkan perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.
Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah “gay” dan “lesbian” dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah  tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi kelompok sosial yang memiliki label sama.
 Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada:
a.      Orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama.
b.      Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender.
c.       Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual (Wikipedia, 2007).
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu pada orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual dan ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual.
B.     Perkembangan Intelektual
Menurut anggapan Piaget (dalam Grain, 1992; Miller, 1993; Santrock, 1999; Papalia, Olds, & Feldman, 1998), kapasitas kognitif dewasa muda tergolong masa operational formal, bahkan kadang-kadang mencapai masa post-operasi formal (Turner & Helms, 1995). Taraf ini menyebabkan, dewasa muda mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional. Dari sisi intelektual, sebagian besar dari mereka telah lulus dari SMU dan masuk ke perguruan tinggi (uniiversitas/akademi).
Kemudian, setelah lulus tingkat universitas, mereka mengembangkan karier untuk meraih puncak prestasi dalam pekerjaannya. Namun demikian, dengan perubahan zaman yang makin maju, banyak di antara mereka yang bekerja, sambil terns melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, misalnya pascasarjana.
Hal ini mereka lakukan sesuai tuntutan dan kemajuan perkembangan zaman yang ditandai dengan masalah-masalah yang makin kompleks dalam pekerjaan di lingkungan sosialnya.
Sementara itu, para ahli (seperti Baltes dan Baltes, Baltes dan Schaie, Willis dan Baltes} mengatakan ada beberapa tipe intelektual, yaitu inteligensi kristal (cristalized intelligence), fleksibilitas kognitif (cognitive flexibility], fleksibilitas visuo-motor (visuomotor flex¬ibility], dan visualisasi (visualization) (Turner dan Helms, 1995).
1.      Inteligensi Kristal
Inteligensi kristal adalah fungsi keterampilan mental yang dapat dipergunakan individu itu, dipengaruhi berbagai pengalaman yang diperoleh melalui proses belajar dalam dunia pendidikan. Misalnya, keterampilan pemahaman bahasa (komprehensif verbal/verbal comprehensive), penalaran berhitung angka (numerical skills), dan penalaran induktif (inductive reasoning). Jadi, keterampilan kognitif merupakan akumulasi dari pengalaman individu alcibat mengikuti ke-giatan pendidikan formal ataupun nonformal. Dengan demikian, pola-pola pemikiran intelektualnya cenderung bersifat teoretis-praktis (text book thinking).


2.      Fleksibilitas Kognitif
Fleksibilitas kognitif adalah kemampuan individu memasuki dan menyesuaikan diri dari pemikiran yang satu ke pemikiran yang lain. Misalnya, kemampuan memahami melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan hubung-an seksual dengan lawan jenisnya, asalkan memenuhi persyarat-an yang sah (perkawinan resmi). Untuk sementara waktu, dorongan biologis tersebut, mungkin akan ditahan terlebih dahulu. Mereka akan berupaya mencari calon teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam perkawinan ataupun untuk membentuk kehidupan rumah tangga berikutnya. Mereka akan menentukan kriteria usia, pendidikan, pekerjaan, atau suku bangsa tertentu, sebagai prasyarat pasangan hidupnya. Setiap orang mempunyai kriteria yang berbeda-beda.
3.      Fleksibilitas Visualmotor
Fleksibilitas Visualmotor adalah kemampuan untuk menghadapi suatu masalah dari yang mudah ke hal yang lebih sulit, yang memerlukan aspek kemampuan visual/motorik (penglihatan,pengamatan,dan keterampilan tangan)
4.      Visualitas
Visualisasi yaitu kemampuan individu untuk melakukan proses visual. Misalnya, bagaimana individu memahami gambar-gambar yang sederhana sampai yang lebih kompleks.

C.     Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak muda mencapai kemajuan dalam penilaian moral ketika mereka menekan egosentrisme dan menjadi cakap dalam pemikiran abstrak. Walaupun demikian, pada masa dewasa, penilaian moral seringkali menjadi lebih kompleks. Merujuk kepada Kohlberg, penalaran moral yaitu moralitas yang post-konvensional dan berprinsip penuh, sebagian besar merupakan fungsi pengalaman. Walaupun kesadaran kognitif terhadap prinsip moral tingkat tinggi seringkali berkembang pada masa remaja, biasanya orang-orang baru melaksanakannya pada masa dewasa. Dua pengalaman yang memacu perkembangan moral pada masa dewasa awal adalah menghadapi nilai yang bertentangan dengan nilai yang sudah dianut di rumah dan pengalaman dalam bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain.
Merujuk Lawrence Kohlberg, perkembangan moral di masa dewasa amat tergantung pada pengalaman, walaupun hal tersebut tidak dapat melewati limit yang ditetapkan oleh perkembangan kognitif. Pengalaman mungkin mengarahkan orang dewasa untuk mengevaluasi kembali kriteria mereka tentang benar dan salah. Sebagian orang dewasa secara spontan menyebut pengalaman personal sebagai alasan jawaban mereka terhadap dilema moral. Misalnya, orang-orang yang mengidap kanker atau memiliki saudara yang mengidap penyakit tersebut.
Dengan demikian, berkenaan dengan penilaian moral, tahapan kognitif bukanlah segalanya. Tentu saja, seseorang yang pemikirannya masih egosentris berkecenderungan lebih kecil membuat keputusan moral pada level post-konvensional akan tetapi bahkan seseorang yang dapat berpikir secara abstrak bisa jadi tidak mencapai level tertinggi perkembangan moral kecuali pengalamannya menyatu dengan kognisinya.

D.    Perkembangan Religion atau Keagamaan

Memahami agama pada masa dewasa, H. Carl Witherington menjelaskan bahwa pada masa ini seseorang telah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem yang bersumber pada ajaran-ajaran agama maupun yang bersumber pada norma-norma lain dalam kehidupan. Dengan demikian, keagamaan di usia dewasa sulit diubah.
Kesadaran beragama pada usia dewasa merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang untuk mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari luar semua tingkah laku kehidupannya diwarnai oleh sistem kesadaran agamanya.
Motivasi beragama pada orang dewasa didasarkan pada penalaran yang logis, sehingga ia akan mempertimbangkan sepenuhnya menurut logika. Dan sama halnya dengan ekspresi beragama pada masa dewasa juga sudah menjadi hal yang tetap, istiqomah. Artinya, sudah tidak percaya ikut-ikutan lagi, tapi lebih berdasar pada kepuasan atau nikmat yang diperoleh dari pelaksanaan ajaran agama tersebut.
Berikut ciri-ciri sikap keberagamaan dewasa, yaitu:
1.    Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.    Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.    Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.    Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagaman merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.    Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.    Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan nurani juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.    Sikap keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.    Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagaman dengan kehidupan sosial keagamaan sudah berkembang.




REFERENSI

Diane E. P, Dkk. (2011). Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta .








Tidak ada komentar:

Posting Komentar