I. TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
HAKIKAT MASA DEWASA AWAL PERKEMBANGAN SEKSUAL, INTELEKTUAL, MORAL DAN RELIGI YANG DIALAMI MASA DEWASA
Dosen: Hastiani, M. Pd
Disusun Oleh :
Anggota Kelompok 3:
· Ardila
· Ruba’i
· Tika Kurniawati
· Uray Gita F
· Veronika Liyanti
· Yustina Sabu
Semester : 4 (Genap)
Prog. Studi : Pendidikan Bahasa Inggris

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
PONTIANAK
2014
Pengertian
Dewasa Awal
Dewasa
awal adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa. Peralihan dari
ketergantungan kemasa mandiri baik dari ekonomi, kebebasan menentukan diri, dan
pandangan masa depan lebih realistis.
Secara
hukum dewasa awal sejak seseorang menginjak usia 21 tahun (meskipun belum
menikah) atau sejak seseorang menikah (meskipun belum berusia 21 tahun).
Sedangkan dari lingkup pendidikan yaitu masa dicapainya kemasakan
kognitif, afektif dan psikomotor sebagai hasil ajar latih yang ditunjang
kesiapan. (Mappiare 15:1983). Masa dewasa awal dimulai pada
umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Saat perubahan-perubahan fisik
dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock,
1996).
Dewasa
awal adalah masa peralihan dari masa remaja yang ditandai dengan pencarian
identitas diri yang didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur kronologis
dan mentalege-nya.
Dewasa
awal merupakan suatu masa penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan yang baru,
dan harapan-harapan sosial yang baru. (H. S. Becker)
Seseorang
yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat,
dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal
dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi yaitu
merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri krena berbeda
dengan orang lain. ( Erickson dalam Monks, Knoers dan Haditono : 2001)
Menurut
Havighurst ( dalam Monks, Knoers dan Haditono : 2001) tugas perkembangan dewasa
awal adalah menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga,
mendidik atau mengasuh anak, memikul tanggung jawab sebagai warga negara,
membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan.
Masa
dewasa awal atau “early adultood” terbentang sejak tercapainya
kematangan secara hukum sampai kira-kita umur usia empat puluh tahun ( dialami
seseorang sekitar dua puluh tahun). (E. B. Hurlock, 1993)
Masa
dewasa awal adalah masa kelanjutan dari masa remaja, sehingga ciri-ciri masa
remaja tidak jauh berbeda dengan perkembangan remaja.
Orang
dewasa muda termasuk masa transisi baik secara fisik, intelektual, peran sosial
dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Beberapa
karakteristik dewasa awal dan pada salah satu nantinya dikatakan bahwa dewasa
awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa dewasa awal merupakan suatu
masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang
diperoleh. (Hurlock : 1993)
Dewasa
awal merupakan masa dari perkembangan fisik yang mengalami degradasi mengikuti
umur seseorang. Pada masa dewasa awal motivasi untuk meraih sesuatu hal sangat
besar yang diduking oleh kekuatan fisik yang prima.
II.
Perkembangan
pada Masa Dewasa Awal
Perkembangan
yang terdapat pada masa dewasa awal meliputi, sebagai berikut:
A. Perkembangan
Seksual
Perkembangan
seksual pada masa dewasa awal ini meliputi heteroseksual dan homoseksual.
1. Heteroseksual
Heteroseksual atau
heteroseksualitas merupakan ketertarikan romantic, ketertarikan seksual, atau
kebiasaan seksual orang-orang yang berbeda jenis kelamin atau gender dalam
pengertian pasangan gender. Sebagai sebuah orientasi
seksual, heteroseksualitas merujuk pada
"suatu pola atau watak tetap untuk mengalami ketertarikan seksual, kasih
sayang, fisik, atau romantis terhadap orang-orang yang berjenis kelamin
berbeda"; istilah ini juga merujuk pada "suatu identitas diri
seseorang berdasarkan ketertarikan-ketertarikan di atas, kebiasaan-kebiasaan
yang berkaitan, serta keanggotaannya dalam sebuah komunitas yang memiliki
ketertarikan yang sama seperti dirinya".
2. Homoseksual
Istilah
“homoseksual” paling sering digunakan untuk menggambarkan perilaku jelas
seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.
Hawkin
(dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah “gay” dan “lesbian” dimaksudkan pada
kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang
memiliki suatu perasaan menjadi kelompok sosial yang memiliki label sama.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual
dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga
digunakan untuk merujuk pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara
orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi
diri mereka sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada:
a.
Orientasi seksual yang ditandai dengan
kesukaan seseorang dengan orang lain yang mempunyai kelamin sejenis secara
biologis atau identitas gender yang sama.
b.
Perilaku seksual dengan seseorang dengan
gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender.
c.
Identitas seksual atau identifikasi
diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi
homoseksual (Wikipedia, 2007).
Dengan demikian maka yang dimaksud
dengan homoseksual mengacu pada orang-orang yang memiliki dorongan impuls,
preferensi, perilaku seksual dan ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual
dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin sama serta orang-orang yang
mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual.
B. Perkembangan
Intelektual
Menurut anggapan Piaget (dalam Grain, 1992;
Miller, 1993; Santrock, 1999; Papalia, Olds, & Feldman, 1998), kapasitas
kognitif dewasa muda tergolong masa operational formal, bahkan kadang-kadang
mencapai masa post-operasi formal (Turner & Helms, 1995). Taraf ini
menyebabkan, dewasa muda mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan
kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional. Dari sisi intelektual,
sebagian besar dari mereka telah lulus dari SMU dan masuk ke perguruan tinggi
(uniiversitas/akademi).
Kemudian, setelah lulus tingkat universitas,
mereka mengembangkan karier untuk meraih puncak prestasi dalam pekerjaannya.
Namun demikian, dengan perubahan zaman yang makin maju, banyak di antara mereka
yang bekerja, sambil terns melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, misalnya
pascasarjana.
Hal ini mereka lakukan sesuai tuntutan dan kemajuan perkembangan zaman yang ditandai dengan masalah-masalah yang makin kompleks dalam pekerjaan di lingkungan sosialnya.
Hal ini mereka lakukan sesuai tuntutan dan kemajuan perkembangan zaman yang ditandai dengan masalah-masalah yang makin kompleks dalam pekerjaan di lingkungan sosialnya.
Sementara itu, para ahli (seperti Baltes dan
Baltes, Baltes dan Schaie, Willis dan Baltes} mengatakan ada beberapa tipe
intelektual, yaitu inteligensi kristal (cristalized intelligence),
fleksibilitas kognitif (cognitive flexibility], fleksibilitas visuo-motor
(visuomotor flex¬ibility], dan visualisasi (visualization) (Turner dan Helms,
1995).
1.
Inteligensi
Kristal
Inteligensi kristal adalah fungsi keterampilan
mental yang dapat dipergunakan individu itu, dipengaruhi berbagai pengalaman
yang diperoleh melalui proses belajar dalam dunia pendidikan. Misalnya,
keterampilan pemahaman bahasa (komprehensif verbal/verbal comprehensive),
penalaran berhitung angka (numerical skills), dan penalaran induktif (inductive
reasoning). Jadi, keterampilan kognitif merupakan akumulasi dari pengalaman
individu alcibat mengikuti ke-giatan pendidikan formal ataupun nonformal.
Dengan demikian, pola-pola pemikiran intelektualnya cenderung bersifat
teoretis-praktis (text book thinking).
2.
Fleksibilitas
Kognitif
Fleksibilitas kognitif adalah kemampuan individu
memasuki dan menyesuaikan diri dari pemikiran yang satu ke pemikiran yang lain.
Misalnya, kemampuan memahami melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan
hubung-an seksual dengan lawan jenisnya, asalkan memenuhi persyarat-an yang sah
(perkawinan resmi). Untuk sementara waktu, dorongan biologis tersebut, mungkin
akan ditahan terlebih dahulu. Mereka akan berupaya mencari calon teman hidup
yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam perkawinan ataupun untuk membentuk
kehidupan rumah tangga berikutnya. Mereka akan menentukan kriteria usia,
pendidikan, pekerjaan, atau suku bangsa tertentu, sebagai prasyarat pasangan
hidupnya. Setiap orang mempunyai kriteria yang berbeda-beda.
3.
Fleksibilitas
Visualmotor
Fleksibilitas Visualmotor adalah kemampuan
untuk menghadapi suatu masalah dari yang mudah ke hal yang lebih sulit, yang
memerlukan aspek kemampuan visual/motorik (penglihatan,pengamatan,dan
keterampilan tangan)
4.
Visualitas
Visualisasi yaitu kemampuan individu untuk
melakukan proses visual. Misalnya, bagaimana individu memahami gambar-gambar
yang sederhana sampai yang lebih kompleks.
C.
Perkembangan
Moral
Perkembangan moral anak
muda mencapai kemajuan dalam penilaian moral ketika mereka menekan egosentrisme
dan menjadi cakap dalam pemikiran abstrak. Walaupun demikian, pada masa dewasa,
penilaian moral seringkali menjadi lebih kompleks. Merujuk kepada Kohlberg,
penalaran moral yaitu moralitas yang post-konvensional dan berprinsip penuh, sebagian
besar merupakan fungsi pengalaman. Walaupun kesadaran kognitif terhadap prinsip
moral tingkat tinggi seringkali berkembang pada masa remaja, biasanya
orang-orang baru melaksanakannya pada masa dewasa. Dua pengalaman yang memacu
perkembangan moral pada masa dewasa awal adalah menghadapi nilai yang
bertentangan dengan nilai yang sudah dianut di rumah dan pengalaman dalam
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain.
Merujuk Lawrence
Kohlberg, perkembangan moral di masa dewasa amat tergantung pada pengalaman,
walaupun hal tersebut tidak dapat melewati limit yang ditetapkan oleh
perkembangan kognitif. Pengalaman mungkin mengarahkan orang dewasa untuk
mengevaluasi kembali kriteria mereka tentang benar dan salah. Sebagian orang
dewasa secara spontan menyebut pengalaman personal sebagai alasan jawaban
mereka terhadap dilema moral. Misalnya, orang-orang yang mengidap kanker atau
memiliki saudara yang mengidap penyakit tersebut.
Dengan demikian,
berkenaan dengan penilaian moral, tahapan kognitif bukanlah segalanya. Tentu
saja, seseorang yang pemikirannya masih egosentris berkecenderungan lebih kecil
membuat keputusan moral pada level post-konvensional akan tetapi bahkan
seseorang yang dapat berpikir secara abstrak bisa jadi tidak mencapai level
tertinggi perkembangan moral kecuali pengalamannya menyatu dengan kognisinya.
D.
Perkembangan
Religion atau Keagamaan
Memahami agama pada masa dewasa, H.
Carl Witherington menjelaskan bahwa pada masa ini seseorang telah memiliki
tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem yang
bersumber pada ajaran-ajaran agama maupun yang bersumber pada norma-norma lain
dalam kehidupan. Dengan demikian, keagamaan di usia dewasa sulit diubah.
Kesadaran beragama pada usia dewasa
merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang untuk mengadakan tanggapan,
reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari
luar semua tingkah laku kehidupannya diwarnai oleh sistem kesadaran agamanya.
Motivasi beragama pada orang dewasa
didasarkan pada penalaran yang logis, sehingga ia akan mempertimbangkan
sepenuhnya menurut logika. Dan sama halnya dengan ekspresi beragama pada masa
dewasa juga sudah menjadi hal yang tetap, istiqomah. Artinya, sudah tidak
percaya ikut-ikutan lagi, tapi lebih berdasar pada kepuasan atau nikmat yang
diperoleh dari pelaksanaan ajaran agama tersebut.
Berikut ciri-ciri sikap keberagamaan
dewasa, yaitu:
1.
Menerima
kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar
ikut-ikutan.
2.
Cenderung
bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam
sikap dan tingkah laku.
3.
Bersikap
positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari
dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.
Tingkat
ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga
sikap keberagaman merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.
Bersikap
lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.
Bersikap
lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain
didasarkan atas pertimbangan nurani juga didasarkan atas pertimbangan hati
nurani.
7.
Sikap
keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing,
sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta
melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.
Terlihat
adanya hubungan antara sikap keberagaman dengan kehidupan sosial keagamaan
sudah berkembang.
REFERENSI
Diane E. P, Dkk. (2011). Human
Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar